Rabu, 12 Januari 2011

Kajian Feminisme Wening karya Yanusa Nugroho

CERPEN “WENING” KARYA YANUSA NUGROHO: KAJIAN FEMINISME SASTRA
Arni Yanti (0908790)
Abstrak
Tulisan ini mengkaji cerpen “Wening” karya Yanusa Nugroho secara feminisme. Tujuan kajian feminisme cerpen ini adalah untuk memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita yang terdapat dalam karya tersebut. . Metode feminisme dalam analisis ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana isu-isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis sesuai dengan kenyataan dalam teks Wening karya Yanusa Nugroho.
1. Pendahuluan
Feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian lebih sempit, yaitu dalam sastra , feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resespsi.emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial lbh dkenal sbg gerakan kesetaraan gender.
Sugihastuti (2005:15-16) mengemukakan bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan --pendeknya- derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Ketiga, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Keempat, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata diresepsi dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk mmperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-centric (menggunakan pikiran-pikiran), sementara wanita sebagai hetero-centric ( untuk orang lain).
Oleh karena itulah, feminis memiliki kaitan erat dengan Marxisme, seksisme, rasisme, dan perbudakan sebab ternyata paham-paham tersebut menyatakan adanya penindasan terhadap kelompok atau kelas lain yg lebih lemah. Meskipun demikian , kaitan feminis dengan Marxis , khususnya Marxis ortodoks bersifat ambigu sebab pada dasarnya bagi kelompok Marxis tersebut perempuan disamakan dengan kaum buruh, jadi termasuk kelompok tertindas.
Cerpen “Wening” karya Yanusa Nugroho mengangkat tema tentang kehidupan seorang wanita bernama Wening, seorang penari profesional yang sukses namun setelah menikah, suaminya melarang Wening untuk menari sehingga Wening tersiksa dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian feminisme yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya sastra yang dihubungkan dengan posisi wanita di kehidupan nyata di masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori feminisme.
2. Kajian Pustaka
2. 1 Feminisme Karya Sastra
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5). menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
2.2 Tujuan Kajian Feminisme
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan keduduk¬an dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de¬ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan ser¬ta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini menca¬kup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memper¬oleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000:4).
Lebih lanjut Djajanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
a. KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
b. KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
c. KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
e. KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
f. KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Metode Penelitian
Langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dimulai dengan menganalisis struktur suatu karya sastra. Analisis struktur tidak berbeda dengan analisis pada kajian lainnya. Langkah berikutnya mendeskripsikan bagaimana isu-isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis sesuai dengan kenyataan teks.

4. Tinjauan terhadap Cerita Wening
4.1 Sinopsis
Wening adalah seorang penari professional yang cukup sukses dan terkenal pada masanya namun setelah menikah dengan seorang pria bernama Irfan, kehidupannya berubah tidak sesuai dengan keinginannya. Wening berubah menjadi Bu Irfan, yang harus selalu menjaga penampilan, siap senyum, tak banyak gerak, tak banyak bicara, dan dia bukan lagi Si Wening. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera.
Wening selalu kesepian di rumahnya sendiri. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, dan Neny, si ABG sering pergi keluar rumah seenaknya. Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
Hingga suatu ketika, Wening berulang tahun. Hanya kecupan dari kedua anaknya yang ia dapat tetapi tidak ada dari suaminya. Wening membuka album foto dirinya ketika terakhir pentas, sebelum menikah dengan Irfan. Tak lama Irfan datang dan melihat Wening yang sedang melihat album foto, ia marah, mencengkeram Wening dan mengucapkan kata-kata kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulutnya. Namun, Wening melawan, ia masuk ke dalam kamar. Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan.
Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu hingga rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai kemudian Wening menari, terus menari. Wening menari dengan kepedihannya. Dia menapaki lantai sebagaimana dia jalani hidupnya yang dingin dan datar. Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu.
Irfan mencoba meringkus istrinya, dibantu sanak saudara yang ada di situ. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Irfan mencoba menyadarkan istrinya, tak terdengar sama sekali oleh Wening. Wening bahkan tak melawan. Dia hanya tersenyum, karena bahkan tubuhnya pun bukan lagi miliknya. Karena saat ini, dia tengah menari dengan jiwanya. Bahkan ketika mobil dari RSJ datang dan membawanya pergi, Wening tetap menari, menyampaikan gerak-gerak lembut untuk melembutkan nurani manusia.
4.2 Analisis feminisme cerita Wening
Wening adalah seorang istri yang baik, dia berp¬eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang¬ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Di dalam rumah tangganya yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Wening pun dilarang oleh suaminya untuk menari. Wening dilarang melakukan hal yang sangat ia cintai dan gemari. Wening kehilangan kebebasannya.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
(Nugroho: paragraf 10-11)
Wening membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Tapi sebenarnya dalam hatinya ia tersiksa, bukan karena ia tidak mau menjadi istri yang penurut tapi Wening ingin dibiarkan menari oleh suaminya. Kalau pun suaminya melarangnya menari, Wening ingin menari untuk suaminya saja, tapi Suaminya tidak mau melihat Wening menari meskipun hanya untuknya. Selama 25 tahun Wening selalu berusaha untuk bersabar, meskipun batinnya tersiksa.
Hidupnya bagai berada dalam sebuah panggung pertunjukkan yang dimainkan di depan masyarakat. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera. Padahal sebenarnya keluarga meraka bukanlah keluarga yang harmonis. Anak-anaknya sering keluar rumah seenaknya. Suaminya pun jarang pulang ke rumah, seakan-akan lupa memiliki istri dan anak. Wening menjalani kehidupannya, bersedih dalam hatinya, namun tetap memendam keinginan kuat untuk dapat menari lagi.
Sepi sekali malam ini. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, mungkin pergi dengan pacarnya. Neny, si ABG-itu, katanya tadi nonton “Berbagi Suami” ah, anak kecil yang selalu ingin tahu urusan orangtua. Bang Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Sejak hampir sebulan ini, suaminya itu hilang-hilang timbul di rumah ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
(Nugroho: paragraf 5)
Wening adalah seorang wanita yang lemah lembut, penurut terhadap suaminya, itu semua dia lakukan untuk membahagiakan suami. Ia rela menyimpan keinginannya untuk menari hanya dalam hatinya, itu semua sebagai tanda baktinya terhadap sang suami. Wening bersikap sebagai ibu rumah tangga yang baik, memperhatikan suami dan kedua anaknya. Perlakuan buruk suaminya , ia terima dengan pasrah dan tabah. Anaknya yang berbuat semaunya pun tak pernah terkena amarah Wening. Wening menginginkan suami dan kedua anaknya bahagia atas kelembutan hati dan sikapnya.
Wening selalu melakukan hal-hal sesuai dengan kemauan suaminya. Ia tidak pernah membangkang. Meskipun dalam hati dan pikirannya, ia ingin melawan. Wening ingin menari. Ia ingin bebas. Beberapa kali wening meminta izin kepada suaminya, ia berbicara dengan sangat lembut. Namun, suaminya tetap dengan pendiriannya, ia melarang wening menari. Wening hanya bisa bersedih, dan menerima keputusan suaminya dengan pasrah.
“Aku ingin menari, boleh ya, Bang?” bisiknya suatu malam, seusai badai kerinduan suaminya tumpah di seluruh sel tubuh Wening. Barangkali saja, setelah mereguk kenikmatan, Bang Irfan akan memberinya kesempatan. Tetapi, suaminya tak menjawab apa-apa, sudah mendengkur kelelahan. Wening hanya diam. Airmatanya beku, mengkristal di dinginnya malam. Sepi kian runcing, dan menusuknya tanpa kata. Dan sejak itu, hampir dua puluh tahun lalu, Wening tak ingin mendapat tusukan sepi lagi.
(Nugroho:paragraf 7)
Irfan, suami Wening, adalah orang yang keras, teguh pada pendiriannya, dan bersifat ingin selalu memimpin. Segala sesuatu yang diinginkannya, harus terjadi. Tidak ada yang boleh melanggar perintah dan keinginannya. Irfan selalu bersikap semaunya. Wening adalah objek bagi Irfan. Wening harus menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang hanya diam di dalam rumah, mengurusi anak dan suami. Tidak ada kebebasan bagi wening dalam berpendapat ataupun dalam menari. Wening dilarang melakukan hal yang paling ia cintai dan gemari. Wening harus sesuai dengan yang Irfan inginkan.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
(Nugroho: paragraf 10-11)
Tokoh Wening yang ked¬udukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional, dipandang menempati ked¬udukan yang inferior atau lebih rendah daripada ke¬dudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berp¬eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang¬ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Tokoh Wening memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangganya yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, Irfanlah yang memegang kuasaan, dan hidup Wening menjadi tergantung pada suaminya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangga¬nya akan ditentang oleh para feminis.
Namun ternyata pada akhirnya muncul sikap feminis dari Wening. Pada puncak kesabarannya, Wening melawan. Ia menari, terus menari, tanpa henti. Wening mencurahkan segala yang dirasakannya selama 25 tahun dengan menari.
Suaminya diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Wening terpaku. Pintu terbanting. Pasti bisnisnya gagal.
Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”
“Apa salahku punya keinginan menari?”
“Itu kesalahanmu!”
“Baik…. Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan menjadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar.
Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan. Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu.
Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.
(Nugroho: paragraf 20-23)
Wening yang telah putus asa karena kelakuan suaminya yang egois dan seenaknya, berusaha untuk bangkit. Wening melakukan hal yang sangat dia inginkan, yang selama ini dilarang oleh suaminya. Wening menari. Ia ingin melampiaskan kesedihan dan keterpurukannya dengan menari. Wening mencurahkan segala yang ia rasakan dalam tariannya, membuat semua orang yang melihatnya mengerti betapa menderitanya ia selama ini. Wening menari, terus menari, tanpa henti, dan tidak ada satu orang pun yang bisa menghentikan Wening menari. Akhirnya Wening bebas dalam kehidupannya sendiri.
Yanusa Nugroho dalam cerpen yang berjudul Wening ini menggambarkan ketabahan dan kelembutan seorang wanita. Betapa sabarnya seorang wanita yang selalu berusaha berkorban demi rumah tangganya, mengorbankan hal yang sangat penting bagi dirinya. Membiarkan dirinya diinjak-injak oleh suaminya. Yang menjadi tujuannya hanyalah kebahagiaan suami dan anak-anaknya. Menahan kepahitan yang selalu dirasakan olehnya. Namun, seorang wanita bukanlah malaikat, ia hanyalah manusia biasa, yang memiliki batas kesabaran. Sekian lama wening bersabar hingga akhirnya Wening terpuruk dan melampiaskan semua yang ia rasakan dengan tariannya, tarian yang membuat dia merasa lega. Wening pejuang, ia memperjuangkan kebahagiaan bagi dirinya dengan menari.
Daftar Pustaka
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina.
Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti, Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna , Nyoman Kutha. 2009. Teori,Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Cerpenkompas.wordpress.com
Lampiran
Wening
Yanusa Nugroho
Diangkatnya lengannya perlahan-lahan. Lengkung-lekuk lengan dengan jari meruncing itu membentuk bayangan di tembok. Pergelangan tangan itu ngukel1, lalu telunjuknya menjentik. Dia tersenyum. Keindahan memang tak bisa diam, selalu ingin keluar dan mempertontonkan dirinya. Sekali lagi dia tersenyum, sambil tetap memandangi bayangannya sendiri di tembok.
Dibayangkannya, nanti dia akan mengurai rambutnya yang panjang, yang oleh Mas Ondi—penata busana, akan diberi untaian melati. Jadi, nantinya, di sela-sela rambut panjangnya itu akan ada untaian melati yang bukan saja indah, tetapi menebarkan harum yang samar- samar. Ah, di tangan Mas Ondi dia akan menjelma Drupadi.
Seandainya saja Bang Irfan bisa memahami ini, tentu akan lain ceritanya.
Waktu terlipat oleh kecepatan, entah siapa yang menjadi biang keladinya. Semua tiba-tiba saja menggumpal di kenangannya. Dia berada di tandu, yang alas duduk maupun atapnya berpaku-paku. Berdiri luka, duduk luka. Memilih “ya” dia akan melukai jiwanya, menolak untuk “ya” pun dia melukai orangtua dan seluruh keluarganya. Tetapi, siapakah yang akan menjalani hidupnya jika bukan dirinya sendiri?
Sepi sekali malam ini. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, mungkin pergi dengan pacarnya. Neny, si ABG-itu, katanya tadi nonton “Berbagi Suami” ah, anak kecil yang selalu ingin tahu urusan orangtua. Bang Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Sejak hampir sebulan ini, suaminya itu hilang-hilang timbul di rumah ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
Dia memang memilih untuk “ya” waktu itu dan bersiap kecewa menelan luka itu dengan ketegaran. Maka hidupnya berubah menjadi Bu Irfan, yang harus selalu menjaga penampilan, siap senyum, tak banyak gerak, tak banyak bicara, dan dia bukan lagi Si Wening. Wening si prenjak telah musnah. Wening si bunga matahari, sudah punah. Wening si walet, harus masuk sangkar; sesuatu yang mustahil sebetulnya, tetapi inilah hidupnya, sejak 25 tahun yang lalu.
“Aku ingin menari, boleh ya, Bang?” bisiknya suatu malam, seusai badai kerinduan suaminya tumpah di seluruh sel tubuh Wening. Barangkali saja, setelah mereguk kenikmatan, Bang Irfan akan memberinya kesempatan. Tetapi, suaminya tak menjawab apa-apa, sudah mendengkur kelelahan. Wening hanya diam. Airmatanya beku, mengkristal di dinginnya malam. Sepi kian runcing, dan menusuknya tanpa kata. Dan sejak itu, hampir dua puluh tahun lalu, Wening tak ingin mendapat tusukan sepi lagi.
Malam ini, sebetulnya adalah hari ulang tahunnya. Di meja telah tersaji tumpeng kuning, kering tempe, abon, rajangan dadar, ketimun, cabe yang dibelah-belah lalu direndam di air sehingga ujung-ujung belahan itu melengkung indah, seperti tangan penari.
Diamatinya tumpeng kecil yang ditatanya sendiri sesore tadi. Hanya kecupan dan ucapan “Happy birthday, Mom…” dari Neny sebelum pergi. Ciuman kecil di pipi dari Sony pun diterimanya, juga sebelum nggeblas dengan Escape-nya. Tetapi tak ada dari Bang Irfan, bahkan sms. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera. Dia ingin menari. Dia ingin menjelma Drupadi. Tumpeng dan lauk-pauk itu ingin menjelma bedaya. Mereka bergerak dalam diam. Mereka membentuk pola-pola lantai yang rancak, rapi, hening, namun memancarkan kesungguhan mempersembahkan keindahan. Keindahan yang hanya bisa dilihat oleh keheningan jiwa. Dan jiwa itu, mengapa hanya ada pada dirinya?
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu dia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah Drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum.
Dialah yang membiarkan kain panjangnya terjulur jauh beberapa meter di belakangnya, memberikan keheningan, menyedot seluruh pancaindera penonton, dan memaksanya untuk memasuki sebuah alam yang bernama kesepian. Dialah yang terus bergerak dengan iringan nafas-nafas tertahan para penontonnya, melangkah hati-hati, menapaki tangga tengah menuju panggung gelap gulita. Cahaya lampu berkebit, tertiup pendingin udara.
Dalam gemulai geraknya, Drupadi ingin meneriakkan sesuatu yang lama dipendamnya. Akulah keindahan. Akan kuajarkan kepada kalian, wahai makhluk bumi, bahwa inilah jiwa kalian. Biarkan matamu menangkapnya, namun jangan biarkan dia menilainya karena matamu tak akan mampu menyampaikannya. Jiwamu lebih halus, dan karenanya, ajaklah dia berbicara. Dan malam ini aku mengundang jiwamu untuk bercengkerama bersamaku. Izinkan dia bersamaku malam ini, maka kau akan dilimpahi cahaya.
Itulah yang menggerakkan Drupadi, menghidupkannya dalam sebuah lakon. Dan penonton memang tak bisa membedakan, manakah Wening dan manakah Drupadi. Tepuk tangan berkepanjangan, berulang, menggema. GKJ pecah, malam itu.
Tetapi, itulah yang menggemakan sepi berkepanjangan hingga malam ini. Wening ingat, di masa kanak-kanak dulu jika ditanya tentang cita-citanya, dia selalu lantang menjawab, “jadi penari..!” dan disambut gelak tawa siapa pun yang bertanya.
Dan ketika diwawancara wartawan seusai “Drupadi Mulat”, Wening remaja 18 tahun itu menjawab, “Semoga suami saya kelak memanjakan saya dengan membolehkan saya menari…” jawabnya agak polos dan kekanakan.
Wening tersenyum pahit mengenang semuanya.
Langkah kaki tergesa menyeberangi ruangan. Wening bangkit dari tempat duduknya. Langkah yang sudah dihafalnya benar. Bang Irfan pulang. Mereka terhenti di suatu ruang, yang menciptakan jarak sepi. Bang Irfan melihat tumpeng dan album yang belum tertutup.
“Masih saja … dasar.”
Wening tercambuk, darah mengalir. Begitu kasar ucapan bang Irfan. Belum cukup rupanya kelembutan yang diberikannya selama ini.
“Abang pulang? Sudah makan, Bang?” sapanya.
Suaminya diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Wening terpaku. Pintu terbanting. Pasti bisnisnya gagal.
Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”
“Apa salahku punya keinginan menari?”
“Itu kesalahanmu!”
“Baik…. Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan menjadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar.
Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan. Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu.
Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.
Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati>jmp -2008m<>h 7028m,0<>w 7028m<2>jmp 0m<>h 9738m,0<>w 9738mDilaluinya pintu yang rusak itu. Dan baginya, pintu hidupnya, yang menjaganya dari campur tangan orang lain, memang telah rusak—lama sebelum malam ini. Mengapa suaminya tega merusak sesuatu yang menjadi miliknya? Benarkah perkawinan membuat Wening harus melebur dan menghancurkan dirinya, kemudian menjelma menjadi Bu Irfan? Tidak untuk malam ini. Tidak, sejak malam ini. Dia adalah Wening. Dia akan menari, membawa keindahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, dan membagikannya kepada dunia. Mengapa keindahan harus ditakar dengan kaleng bekas mentega?
Dengan tatapan pada bumi, dilewatinya Irfan yang terpasak di tempatnya berdiri. Dia ingin mengatakan kepada Irfan bahwa leher jenjangnya adalah keindahan yang seharusnya membuat manusia kian bercahaya. Namun, yang anehnya, malah membuat suaminya terbenam dan terbakar berahi. Mengapa keindahan selalu dimakan api? Tak adakah sepercik rasa syukur, melalui kekaguman atas keindahan ciptaan-Nya? Sesekali pula Wening mengubah posisi tubuhnya, condong ke depan, menariknya perlahan, miring ke kanan, menoleh ke sudut. Wening yakin sekali, dari tempatnya berdiri, Irfan akan menyaksikan sebuah bangun indah, sebuah bangun menakjubkan, yang berhasil diciptakannya.
Perlahan langkahnya menjauh, dan dibiarkannya samparan itu menjulur panjang, terseret gerak tubuhnya. Sengaja dibiarkannya Irfan menjadi begitu bodoh, dungu, bebal dengan tatapan matanya yang entah mempertanyakan apa. Dibiarkannya, kali ini, laki-laki itu tersuruk-suruk ketidakpahamannya akan apa yang disaksikan kedua matanya; ah, laki-laki memang tak pernah dewasa, tak paham akan keindahan. Dirimu hanya dikuasai sesuatu yang bahkan hanya kau sembunyikan di balik celana dalammu.
Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetangganya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya.
“Mama… please…,” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi Wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu.
Irfan mencoba meringkus istrinya, dibantu sanak saudara yang ada di situ. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Irfan mencoba menyadarkan istrinya, tak terdengar sama sekali oleh Wening. Wening bahkan tak melawan. Dia hanya tersenyum, karena bahkan tubuhnya pun bukan lagi miliknya. Karena saat ini, dia tengah menari dengan jiwanya.
Bahkan ketika mobil dari RSJ datang dan membawanya pergi, Wening tetap menari, menyampaikan gerak-gerak lembut untuk melembutkan nurani manusia. Gerak-gerak gemulai yang membangkitkan kekuatan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri….
Bukit Nusa Indah, 982
1 Gerak tari Jawa, khususnya pada bagian tangan.
2 Sebuah komposisi gending yang oleh sebagian orang dianggap sakral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar