Jumat, 15 Maret 2013

PERANAN MOTIVASI DALAM PROSES PEMBELAJARAN B2

PERANAN MOTIVASI DALAM PROSES PEMBELAJARAN B2

Arni Yanti (0908790)
Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, arunee_me@yahoo.com, arniyanti.blogspot.com
Sellafie Murk (0906586)
Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, alexandra_fie@yahoo.com, sellasastra.blogspot.com

Abstrak: Bahasa kedua dapat diperoleh secara naturalistik dan dalam lingkungan kelas. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah motivasi. Peranan motivasi dalam proses pembelajaran B2 terlihat melalui adanya motivasi instrumental, integratif, intrinsik, dan ekstrinsik yang mendorong aktivitas belajar. Pengelolaan keempat motivasi tersebut dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran B2.

Kata kunci: bahasa, pemerolehan, motivasi, pembelajaran

A.   Pendahuluan
Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh seseorang setelah ia  memperoleh bahasa lain. Pemerolehan bahasa kedua dapat diperoleh secara naturalistik dan dalam proses pembelajaran di kelas. Pemerolehan bahasa kedua berlangsung secara sadar dengan mempelajari bahasa secara formal, belajar bahasa secara tersurat, dan belajar bahasa secara ilmiah. Kefasihan seseorang menguasai bahasa kedua dipengaruhi pada proses belajarnya.
Salah satu aspek yang berperan penting dalam pembelajaran bahasa kedua adalah motivasi. Besar kecilnya motivasi seseorang mempelajari bahasa kedua akan berpengaruh pada hasil belajarnya. Semakin besar motivasi seseorang dalam mempelajari bahasa kedua akan semakin besar kemungkinan keberhasilan seseorang dalam menguasai bahasa tersebut.
            Atas dasar pemikiran di atas, penulis ingin megetahui bagaimana peranan motivasi dalam proses pembelajaran B2. Penulis melakukan penelitian mengenai motivasi pembelajar yang berasal dari luar Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia dan mengetahui peranan motivasi tersebut dalam proses pembelajarannya di salah satu lembaga belajar BIPA (bahasa Indonesia bagi penutur asing), yaitu Pusat Bahasa UNPAD Bandung.

B.   Landasan Teori
Basuki (1999) dalam jurnal yang berjudul Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa untuk Orang Asing: Berbagai Masalah menyatakan bahwa istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar, sedangkan pemerolehan bahasa kedua (second language learning) dilaksanakan dengan sadar. Pada anak-anak, error (kegalatan) dikoreksi oleh lingkungannya secara tidak formal, sedangkan pada orang dewasa yang belajar B2, kegalatan diluruskan dengan cara berlatih ulang.
Mengenai variabel yang memegang peran dalam keberhasilan atau ketidakberhasilan usaha untuk kemampuan B2, menurut Baradja (1994: 3-12) dalam Harras dan Bachari  (2009: 73) terdapat enam faktor yang perlu diperhatikan secara cermat, yaitu tujuan, pembelajar, pengajar, bahan, metode, dan  faktor  lingkungan. Meski  demikian, faktor tujuan, pembelajar, dan pengajar merupakan tiga faktor utama.
Dalam proses pemerolehan bahasa kedua salah satu aspek yang berperan penting adalah motivasi. Adapun pengertian motivasi menurut Makmun (2007: 37) adalah suatu kekuatan (power) atau tenaga (forces) atau daya (energy) atau suatu keadaan yang kompleks (a complex state) dan kesiapsediaan (prepatory set) dalam diri individu (organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari.
Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi itu (Chaer, 2009: 251).
Jenis-jenis motivasi dalam belajar menurut Yamin (2011: 234), yakni motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan kegiatan belajar yang tumbuh dari dorongan dan kebutuhan seseorang tidak secara mutlak berhubungan dengan kegiatan belajarnya sendiri. Motivasi intrinsik merupakan kegiatan belajar dimulai dan diteruskan, berdasarkan penghayatan sesuatu kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar.
Menurut Gardner dan Lambert (1972: 3) dalam Chaer (2009: 251) motivasi yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa kedua mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi integratif dan fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integratif kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan motivasi berfungsi instrumental kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kemauan mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat tersebut.
Upaya membangkitkan motivasi belajar siswa menurut Sanjaya (2009: 261) yaitu dengan memperjelas tujuan yang ingin dicapai, membangkitkan minat siswa, menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar, berilah pujian yang wajar setiap keberhasilan siswa, berikan penilaian, berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa, dan ciptakan persaingan dan kerja sama yang dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa.

C.   Proses Pembelajaran B2 di Pusat Bahasa UNPAD
            Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pengajar BIPA di Pusat Bahasa UNPAD, ibu Wagiati, diketahui bahwa motivasi pembelajar BIPA dalam belajar bahasa Indonesia beragam. Salah satu motivasi pembelajar BIPA yaitu untuk studi lanjut ke S2 (di ITB, UNPAD, UNPAR) karena pembelajar sedang kuliah di Indonesia yang dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehingga pembelajar BIPA harus bisa berbahasa Indonesia untuk dapat mengerti materi yang dipelajari di kelas. Adapun motivasi lainnya, yaitu untuk menetap di Indonesia, bekerja di Indonesia, bekerja di perusahaan Indonesia yang ada di negaranya, membuka usaha di Indonesia, menikah dengan orang Indonesia (ibu rumah tangga), menjadi pengajar di Indonesia, serta sebagai kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Karakteristik pembelajar BIPA sama saja dengan pembelajar pada umumnya, ketika proses pembelajaran berlangsung, ada pembelajar yang bersikap aktif dan ada pembelajar yang bersikap biasa saja. Perihal presensi atau kehadiran, pembelajar BIPA memiliki kehadiran yang baik. Pembelajar selalu rajin untuk hadir, jarang sekali ada pembelajar yang tidak hadir dalam pembelajaran. Pada saat pembelajaran, para pembelajar BIPA selalu ingin latihan atau tugas yang telah dikerjakannya diperiksa oleh pengajar. Mereka ingin tahu apakah yang dikerjakannya itu sudah benar atau belum. Mereka akan memperbaiki apabila yang dikerjakannya masih ada yang belum benar atau salah.
Mengenai materi pembelajaran, orang asing (pembelajar BIPA) tidak akan semangat bila materinya biasa saja. Mereka harus diberikan materi yang menantang dan baru. Pembelajar BIPA juga tidak ingin dimanjakan dengan bahasa asing (bahasa pertama pembelajar tersebut). Pembelajar BIPA senang belajar dan berpikir keras supaya mereka cepat bisa. Semua pembelajar BIPA memiliki modul masing-masing. Dalam proses pembelajaran, digunakan alat peraga dan media lainnya yang beragam, bergantung pada keinginan pengajar dan materi yang akan diberikan. Misalnya untuk materi kaidah cukup dengan latihan praktik membuat kalimat sendiri. Namun dapat digunakan cuplikan film dalam pembelajaran wacana sehari-hari.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), pernah ada pembelajar BIPA yang kurang aktif sehingga hasil belajarnya kurang memuaskan, kemampuan berbahasa Indonesianya menjadi lebih lambat dari pembelajar lainnya. Pada saat seperti itu, yang dilakukan pengajar BIPA adalah memberi perhatian khusus  pada pembelajar tersebut. Salah satunya dengan cara pembelajar sering ditanya-tanya dan diajak mengobrol oleh pengajar. Pengajar BIPA berusaha mengetahui permasalahan pembelajar dan membantu mencari solusinya.

D.   Peranan Motivasi dalam Pembelajaran B2 di Pusat Bahasa UNPAD
Pembelajar BIPA memiliki semangat dan tujuan tertentu. Mereka punya target dalam belajar formal di Pusat Bahasa UNPAD ini. Dalam proses pembelajaran, pembelajar BIPA akan aktif didasarkan keperluannya karena mereka memiliki target-target tertentu. Misalnya, pembelajar yang menetap di Indonesia. Mereka ingin bisa berbahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan warga sekitar. Mereka menginginkan untuk bisa mengenal orang-orang yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya supaya dapat hidup lebih tenang. Selain itu, karena hidup sehari-hari di Indonesia yang warganya tentu mayoritas orang Indonesia yang berbahasa Indonesia, pembelajar asing merasa perlu untuk bisa berbahasa Indonesia supaya ketika mereka akan pergi ke tempat-tempat umum dan menikmati fasilitas umum di Indonesia, mereka tidak akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang Indonesia.
Pembelajar yang targetnya ingin cepat lancar berbahasa Indonesia karena tuntunan waktu baik untuk studi lanjut, bekerja, dan sebagainya akan lebih giat belajar dibandingkan dengan pembelajar yang targetnya hanya ingin bisa berbahasa Indonesia saja tanpa tuntutan batasan waktu.
Motivasi tentunya berperan dalam proses pembelajaran BIPA, berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran bergantung pada motivasi pembelajar itu sendiri. Perilaku pembelajar BIPA selama pembelajaran berlangsung dipengaruhi oleh motivasinya. Meskipun terkadang pembelajar BIPA berperilaku tidak aktif, pembelajar BIPA tetap mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan mengerti materi yang diajarkan hingga pada akhirnya target mereka tercapai.
Pembelajar BIPA memiliki keinginan yang kuat untuk bisa berbahasa Indonesia. Terlihat dari kehadiran pembelajar BIPA di kelas. Pembelajar rajin untuk hadir. Pada saat pembelajaran, para pembelajar BIPA pun selalu ingin latihannya diperiksa oleh pengajar. Hal ini menandakan pembelajar memiliki minat yang besar untuk belajar bahasa Indonesia dan untuk bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Sebagaimana yang disebutkan Baradja (1994: 3-12), faktor tujuan, pembelajar, dan pengajar merupakan tiga faktor utama dalam keberhasilan atau ketidakberhasilan usaha untuk kemampuan B2. Pembelajar BIPA yang bertujuan kuat untuk dapat menguasai bahasa Indonesia cenderung lebih berhasil menguasai bahasa Indonesia dibandingkan dengan pembelajar BIPA yang tidak memiliki tujuan yang kuat. Motivasi yang menggerakkan perilaku pembelajar dalam belajar B2. Selain itu, pengajar BIPA juga memiliki peran yang penting dalam proses pembelajaran BIPA. Pengajar harus menciptakan proses pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan materi pelajaran. Sebagai pengajar BIPA, tentunya harus bisa membangkitkan motivasi pembelajar karena motivasi pembelajar berpengaruh pada aktivitas belajar dan hasil belajarnya.
            Terdapat berbagai macam tujuan pembelajar BIPA dalam mempelajari bahasa Indonesia secara formal. Semua tujuan tersebut mendukung aktivitas belajar ketika proses pembelajaran berlangsung. Seberapa pun baiknya situasi pembelajaran yang disusun oleh pengajar, keberhasilan proses pembelajaran tergantung pada diri pembelajar itu sendiri.

E.    Penutup
Simpulan
Motivasi merupakan keseluruhan tujuan pembelajar dalam mempelajari bahasa kedua. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berkorelasi positif dengan keberhasilan belajar B2. Semakin besar motivasi seseorang dalam mempelajari bahasa kedua akan semakin besar kemungkinan keberhasilan seseorang dalam menguasai bahasa tersebut. Di lain pihak, pembelajar B2 yang tidak mempunyai motivasi akan sulit mencapai keberhasilan dari pembelajarannya. Jadi, motivasi, apapun jenisnya, merupakan salah satu faktor yang berperan dalam mempengaruhi keberhasilan pembelajaran B2.
Saran
Sebagaimana telah diketahui bahwa motivasi memiliki peranan yang besar dalam proses pembelajaran B2. Oleh karena itu, pengajar B2 harus memerhatikan motivasi pembelajar. Apabila motivasi belajar dari pembelajar B2 sedang melemah, pengajar B2 harus berupaya melakukan teknik yang mampu menumbuhkan motivasi pembelajar. 

F.    Referensi
Chaer, Abdul. (2009). Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harras, Kholid A. dan  Andika Dutha Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI PRESS.
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan: Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.
Sanjaya, Wina. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Yamin, Martinis. (2010). Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press.
Yamin, Martinis. (2011). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.
Basuki, Sunaryono. (1999). Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa untuk Orang Asing: Berbagai Masalah. [Online]. Tersedia: http://www.ialf.edu/bipa/july1999/pengajarandanpemerolehan.html
[11 Oktober 2012].
Suroso, Imam. (2011). Menumbuhkan Motivasi dalam Pembelajaran  Bahasa Kedua. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2004. “Pemerolehan Bahasa Kedua (Kasus Berbahasa Jawa di TK)”. Tempel (Selasa, 17 Februari 2004).

STUDI KASUS PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 3 TAHUN


STUDI KASUS PEMEROLEHAN BAHASA
PADA ANAK USIA 3 TAHUN

Arni Yanti (0908790)
Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak: Pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun akan diteliti pada seorang anak perempuan bernama Nadya pada setting di rumah. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode simak dan cakap. Data yang dihimpun berupa tuturan lisan objek penelitian dengan lawan tuturnya dalam suatu percakapan di telepon. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mencermati pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun. Pemerolehan bahasa yang dimaksud mencakup tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran fonologi.

Kata kunci: bahasa, pemerolehan, sintaksis, semantik, fonologi

A.   Pendahuluan
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan wujud dari kehidupan manusia tersebut. Bahasa diperoleh seorang manusia mulai sejak lahir, ketika dia pertama kali menangis. Pada saat manusia berumur 3 hingga 4 bulan, ia mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mulai mengoceh saat umur 5 dan 6 bulan, kemudian ocehan ini pun lama-kelamaan semakin bertambah sampai sang anak mampu memproduksi perkataan yang pertama.
Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses perkembangan bahasa manusia. Kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasanya. Pemerolehan bahasa ini dipengaruhi pula oleh interaksi sosial dan perkembangan kognitif anak. Kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses sehingga perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini pun diarahkan berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemampuan sintaksis, semantik, dan fonologis yang dalam proses pemerolehannya, dilakukan secara bertahap.
Atas dasar uraian diatas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun pada tataran sintaksis, semantik, dan fonologi. Objek dalam penelitian ini yaitu seorang anak perempuan berusia 3,1 tahun bernama Nadya Fitri Aulia (Nadya).

B.   Metode Penelitian

Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan berusia 3,1 tahun bernama Nadya Fitri Aulia. Nadya dilahirkan  di keluarga yang dwibahasawan yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Ayah dan ibu Nadya menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Dapat dikatakan Nadya seorang dwibahasawan alamiah, karena pemerolehan bahasa Nadya berupa bahasa Sunda dan bahasa Indonesia sekaligus. Apabila lawan bicara Nadya menggunakan bahasa Indonesia, Nadya akan merespon lawan bicaranya tersebut menggunakan bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya. Hal itu mengakibatkan dalam tuturan Nadya seringkali terdapat campur kode dan alih kode. Namun, agar penelitian ini tidak terlalu melebar, dalam penelitian ini hanya akan diteliti pemerolehan bahasa Indonesianya saja.
Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kamar pribadi kakak dari objek penelitian berukuran 4 x 3 meter di salah satu rumah di Jalan Mochamad Toha, Kota Bandung. Peneliti merekam situasi objek ketika sedang bertelepon dengan lawan tuturnya menggunakan video kamera. Penelitian ini menggunakan metode observasi (metode simak) dan metode cakap. Metode simak yang dilakukan dengan cara merekam kemudian mentranskripsikan hasil simakan yang diperoleh. Sedangkan metode cakap dilakukan dengan peneliti terlibat percakapan dengan Nadya selaku objek penelitian secara langsung.

C.   Landasan Teori
Chaer (2009: 167) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak itu.
Beberapa linguis generatif (Tarigan, 2009: 38) yakin bahwa suatu tata bahasa terdiri atas tiga komponen utama yang masing-masing komponen melukiskan seperangkat kaidah linguistik tertentu, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologi. Komponen sintaksis menjumlahkan suatu perangkat tali simbol tata bahasa yang tidak terbatas banyaknya, masing-masing dengan pemerian struktural yang tepat. Komponen semantik beroperasi pada rangkaian formatif bersama-sama dengan pemerian strukturalnya yang menghasilkan suatu interpretasi semantik bagi setiap tali atau untaian. Komponen fonologi memetakan setiap tali sintaksis menjadi gambaran ciri-ciri fonetik yang paling terperinci, yaitu menyajikan setiap kalimat dengan ucapannya.
Dari deskripsi di atas dapat dinyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus secara bertahap. Pemerolehan bahasa seseorang dapat dinilai atau dilihat dari sistem komunikasi linguistiknya yang berada pada tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran fonologi. Oleh karena itu, penelitian tentang pemerolehan bahasa anak secara mendalam dengan memerhatikan ketiga tataran tersebut terasa sangat penting dilakukan.

D.   Temuan Penelitian dan Pembahasan

Pemerolehan Sintaksis
Pemerolehan bahasa Nadya pada tataran sintaksis sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari data yang didapatkan. Nadya sudah bisa membuat kalimat yang bersifat deklaratif, interogatif, imperatif. Kemudian menempatkannya pada situasi yang tepat. Contoh kalimat bersifat deklaratif yang dibuat Nadya tampak pada kutipan peristiwa tutur berikut.

P1: Dede, tetehnya ada ga?
P2: Ada, lagi, lagi bobo.
Kalimat tutur diatas menggambarkan Nadya (P2) sudah dapat memberitakan sesuatu kepada orang lain. Dalam kalimat tutur di atas Nadya memberitakan kepada P1 bahwa kakaknya sedang ada bersamanya dan kakaknya tersebut sedang tidur.

P2: Teteh, punya poto ga?
P3: Punya.

Kalimat tutur di atas menggambarkan Nadya (P2) membuat kalimat yang bersifat interogatif. Nadya sudah bisa menanyakan sesuatu pada kakaknya (P3). Dalam kalimat tersebut, nadya menggunakan kata ga untuk menanyakan apakah kakaknya punya foto atau tidak.

P2: Nih teh! (Nadya memberikan telepon genggam kepada kakaknya)

Kalimat imperatif memiliki makna memberikan perintah untuk melakukan sesuatu sehingga tanggapan yang diharapkan berupa tindakan dari orang yang diperintahnya. Dalam kalimat di atas, Nadya (P2) ingin kakaknya memberikan tanggapan berupa tindakan yaitu mengambil telepon genggam dari tangan Nadya.
Kalimat yang dibuat Nadya sudah cukup baik, namun dalam proses menghasilkan ujaran, Nadya mengalami sedikit kesulitan dalam tahap pengolahan sintaksis yang akan diujarkannya. Contohnya dalam kutipan peristiwa tutur berikut.

P2: Punya, tuh punya.
P1: Oh, punya. Kalo dede punya ga?
P2: Dede? Punya juga, punya dede mah, punya juga.

Dalam kalimat tutur di atas, Nadya (P2) membuat kalimat tak berklausa punya, tuh punya untuk menyatakan bahwa kakaknya punya poto. Kemudian ketika ditanyakan apakah Nadya juga punya poto seperti kakaknya, Nadya menjawab punya juga, punya dede mah, punya juga. Terjadi pengulangan pada kalimat tutur yang dibuat Nadya yaitu pengulangan kata punya bahwa Nadya juga memiliki apa yang ditanyakan oleh lawan bicaranya (P1).

Pemerolehan Semantik
Pemerolehan bahasa Nadya pada tataran semantik berjalan dengan baik, sama halnya dengan kanak-kanak lainnya yang berusia di atas 2 tahun yang telah mulai menguasai kamus makna. Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan baik secara horizontal maupun secara vertikal. Pemerolehan semantik Nadya dapat dilihat pada kutipan peristiwa tutur berikut.

P1: Di mana?
P2: Di sini? Nadya, pas malem, Nadya, udah itu, udah jalan-jalannya, beli baju  
        yang banyak. Ini bajunya yang banyak, ini bajunya banyak.
P1: Mana baju banyak teh?
P2: Pororo ini mah bajunya teh, Pororo.

Dalam kutipan peristiwa tutur di atas, Nadya (P2) menyatakan bahwa pada suatu malam dia berjalan-jalan kemudian membeli baju yang banyak. Kemudian ketika dalam percakapan di atas, Nadya sedang menggunakan baju yang banyak. Dalam kalimat ini bajunya yang banyak, ini bajunya banyak, yang dimaksud Nadya bukanlah Nadya sedang menggunakan banyak baju atau menggunakan baju yang banyak, yang berarti lebih dari satu baju. Tetapi maksud Nadya adalah baju yang sedang dipakai Nadya tersebut adalah salah satu dari beberapa baju yang dibelinya itu.
Penyebutan baju yang banyak yang dimaksud Nadya terhadap satu baju yang dipakainya, yang merupakan satu dari sekian baju yang dibelinya itu,  didasarkan pada ciri yang khas dari baju itu yaitu baju yang dibeli pada malam saat sedang berjalan-jalan dengan keluarganya. Hal ini memperlihatkan penguasaan Nadya terhadap medan semantik.
Kemudian saat Nadya ditanya Mana baju banyak teh? yang menanyakan baju yang banyak yang dimaksud Nadya, Nadya menjawab Pororo ini mah bajunya teh, pororo sebagai rujukan terhadap baju yang dikenakannya. Pororo merupakan tokoh kartun yang berbentuk penguin. Baju yang dikenakan Nadya bergambar tokoh Pororo.

Pemerolehan Fonologi
Data fonologis yang berhasil dihimpun pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Kata
Pengucapan (seharusnya)
Pengucapan (fakta)
situ
/situ/
/situh/
foto
/foto/
/poto/
iya
/iya/
/iyah/
temennya
/temennya/
/temennyah/
terus
/terus/
/telus/
rumah
/rumah/
/lumah/
itu
/itu/
/ituh/
pororo
/pororo/
/porolo/
lagi
/lagi/
/lagih/
yuni
/yuni/
/uni/
arni
/arni/
/ani/
duduknya
/duduknya/
/duduknyah/

Berdasarkan data di atas, terdapat beberapa bunyi laringal [h] yaitu penambahan fonem /h/ pada kata yang berakhiran vokal /u/, /i/, dan /a/, yaitu dari pengucapan yang seharusnya /situ/ menjadi /situh/, /itu/ menjadi /ituh/, /lagi/ menjadi /lagih/, /iya/ menjadi /iyah/, /temennya/ menjadi /temennyah/, dan pengucapan yang seharusnya /duduknya/ menjadi /duduknyah/.
Terjadi pula perubahan fonem /f/ menjadi /p/ yaitu dari /foto/ menjadi /poto/. Kemudian perubahan fonem /r/ menjadi /l/ yaitu dari pengucapan yang seharusnya /terus/ menjadi /telus/ dan dari /rumah/ menjadi /lumah/. Pengucapan kata yang seharusnya /pororo/ cukup unik karena Nadya bisa mengucapkan fonem /r/ pada silaba kedua hanya saja pengucapan fonem /r/ pada silaba ketiga menjadi /l/ kembali, yaitu pengucapan yang seharusnya /pororo/ menjadi /porolo/.
Terjadi pula penghilangan fonem yang tidak diberi tekanan yaitu fonem /y/ dari pengucapan yang seharusnya /yuni/ menjadi /uni/ dan fonem /r/ dari pengucapan yang seharusnya /arni/ menjadi /ani/. Kata /yuni/ dan /arni/ yang merupakan sebuah nama, pengucapannya berubah menjadi /uni/ dan /ani/ mungkin karena sudah menjadi kebiasaan pada Nadya sejak kecil, karena saat usia Nadya lebih kecil dari sekarang sering mengucapkan /yuni/ dengan /uni/ dan /arni/ dengan /ani/. Hal tersebut belum berubah sampai saat ini, meskipun Nadya sekarang sudah bisa mengucapkan /y/ atau bisa mengubah pengucapan fonem /r/ menjadi /l/. Nadya bisa saja mengucapkan /yuni/ ataupun yang seharusnya /arni/ menjadi /alni/.
Proses fonologis yang dialami oleh Nadya menunjukan adanya kesesuaian dengan pemerolehan bahasa tipikal yang dialami oleh kanak-kanak lain seusianya pada umumnya. Dari hasil analisis Nadya banyak mengeluarkan bunyi laringal [h] pada kalimat yang berakhiran vokal /u/, /i/, dan /a/. Nadya juga mengalami proses fonologis yang mengakibatkan perubahan bunyi /r/ menjadi /l/. Bunyi /r/ dan /l/ sama-sama berada pada titik artikulasi alveolum, dengan demikian perubahan ini wajar bagi anak seusia Nadya.

E.    Simpulan dan Saran

Simpulan
Pemerolehan bahasa pada tataran sintaksis, semantik, dan fonologi Nadya selaku objek penelitian sudah cukup baik. Tidak terdapat penyimpangan yang berarti dalam tuturan yang dihasilkan. Pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun berada pada tahap perkembangan kalimat. Anak sudah mengenal pola dialog, sudah mengerti kapan gilirannya berbicara dan kapan giliran lawan tuturnya berbicara. Anak telah menguasai hukum-hukum tata bahasa yang pokok dari orang dewasa, perbendaharaan kata berkembang, dan perkembangan fonologi dapat dikatakan telah berakhir. Mungkin masih ada kesukaran pengucapan beberapa konsonan namun segera akan berhasil dilalui anak.

Saran
Peneliti menyadari penelitian ini sangat terbatas, selain data yang sedikit penelitian ini pun belum didukung oleh teori–teori yang lebih komprehensif dan analisis yang lebih mendalam. Penelitian lanjutan perlu dilakukan guna mengetahui lebih dalam mengenai pemerolehan bahasa yang dialami oleh anak usia 3 tahun.

F.    Referensi
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Damaianti, Vismaia S. dan Nunung Sitaresmi. 2006. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Sitaresmi, Nunung dan Mahmud Fasya. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung: UPI Press.
Sunanto, Juang dan Koji Takeuchi, Hideo Nakata. 2006. Penelitian dengan Subyek Tunggal. Bandung: UPI Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2009a. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: Angkasa.
------- 2009b. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.