Sabtu, 02 April 2011

Sekolah Harapan

Matahari senantiasa selalu menemani setiap langkahku. Dua kilometer, jarak dimana kakiku melangkah menyusuri jalan raya yang terasa gersang akibat banyaknya debu kendaraan kota Bandung yang luas ini. Namun, lelah dan haus akibat berjalan yang kurasakan rasanya hilang begitu aku sampai di tempat yang kusukai, sekolah. Aku sangat suka belajar, karena dengan belajar, aku merasa menjadi orang yang berguna bagi banyak orang, terutama ibuku.
Namaku Nia, seorang anak yang hanya memiliki ibu di dunia ini, tanpa ayah, tanpa keluarga lainnya. Meskipun kami hanya hidup berdua, tapi aku merasa sangat bahagia memiliki seorang ibu yang sangat tabah dan kuat dalam menjalani kehidupan ini. Ibuku mencari uang dengan berjualan lotek. Aku biasa membantu ibu menghitung hasil penjualan loteknya setiap hari karena di sekolah, aku diajarkan matematika yang ternyata bisa langsung aku pergunakan di kehidupan nyata. Aku menjadi siswi di sebuah Sekolah Dasar Negeri di pinggiran kota Bandung. Salah satu sekolah yang benar-benar gratis dimana para muridnya tidak dipungut biaya administrasi apapun. Sekolah yang sangat cocok bagi anak yang kurang mampu seperti aku dan teman-temanku yang lainnya.
“Nia, kok kamu baru datang? Sebentar lagi kan bel masuk berbunyi. Untung kamu tidak terlambat.” sapa Rani, sahabatku. Dia memang sangat baik dan peduli terhadapku.
“Tadi aku membantu Ibu berbelanja ke pasar dulu. Yuk, kita masuk kelas.” jawabku singkat.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional SD. Aku sudah mempersiapkan diriku dengan sangat baik, setiap hari aku tidak pernah berhenti belajar. Aku ingin lulus dan meneruskan ke sekolah lanjutan negeri favorit di Bandung. Aku ingin membuat Ibu bangga. Aku akan bersungguh-sungguh belajar supaya bisa menjadi guru di kemudian hari, agar berguna bagi bangsa dan Negara.
“Nia.. Nia..” suara Ibu keras sekali memanggil namaku.
Segera aku berlari menuju ke ruang tamu dimana Ibu berada, “Iya Bu, ada apa?” jawabku cepat.
“Kamu lulus nak, dan menjadi juara umum. Ibu sangat bangga kepadamu.” Ibu meneteskan airmatanya sambil tersenyum. Dia memelukku dengan sangat erat. Aku sangat bahagia.
Setahun sudah semenjak kelulusan tersebut, setiap hari kuhabiskan waktuku dengan bernyanyi di tengah kota, tepatnya di lampu merah. Aku menjadi seorang pengamen karena tidak dapat melanjutkan sekolah. Meskipun biaya SMP Negeri gratis tetap saja ada biaya administrasi yang harus dilunasi dan Ibu tidak mampu untuk membayarnya. Dengan terpaksa aku bernyanyi setiap hari demi recehan yang sangat berarti bagi kehidupanku dan Ibu. Aku tetap setia bernyanyi, tetap ditemani matahariku. Hatiku terasa sakit setiap kali melihat murid-murid SMP berjalan di hadapanku. Jujur aku iri, aku ingin bersekolah seperti mereka. Untung saja aku memiliki Ibu yang sangat baik. Beliau selalu menyemangatiku dan membuatku berusaha sabar dalam menjalani kehidupan.
“Nia! Nia!” teriak seseorang dari dalam mobil di belakang tempatku bernyanyi.
Dengan penasaran aku memandang orang yang memanggilku, aku berjalan mendekatinya. Ternyata sosok yang kudekati adalah Rani, sahabat yang sudah genap setahun kami tidak bertemu. Rani terlihat berbeda. Ia terlihat semakin cantik dan terawat. Dan yang membuatku heran adalah ia menggunakan mobil mewah. Benar-benar membuatku kebingungan bercambur senang bertemu dengannya.
“Nia, ko kamu disini?” tegur Rani dengan nada penasarannya.
“Hmm, iya. Aku menjadi pengamen sekarang. Dan kamu, bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Aku menjawab masih dengan perasaan bingung bercampur senang.
“Masuklah, kita ngobrol sebentar. Nanti akan kuceritakan semuanya.” ajak Rani. Aku langsung mengiyakan untuk mengatasi kebingunganku.
Rani mengajakku ke rumahnya. Rumah yang begitu megah. Aku terkagum-kagum melihatnya.
“Rani, ini rumah kamu?” tanyaku dengan sangat penasaran.
“Iya, ini rumahku sekarang. Duduklah, aku akan menceritakan semuanya.” Aku duduk dan siap untuk mendengarkan cerita dari Rani.
“Tak lama setelah kelulusan SD, kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kemudian, orang yang menabrak kedua orangtuaku mengangkat aku menjadi anak mereka. Mereka merasa sangat bersalah, tapi aku tidak membenci mereka karena aku tahu mereka tidak sengaja melakukannya. Aku menerima ini sebagai takdir. Aku hanya ingin kedua orangtuaku tenang di alam sana.” Rani mengenang masa lalu dan menceritakan semuanya kepadaku. Sesekali kulihat matanya mengeluarkan airmata.
“Rani, aku ikut sedih mendengarnya. Kedua orangtuamu adalah orang yang baik dan aku yakin Tuhan akan menjaga mereka di surga.” Aku berusaha menghibur Rani.
“Terimakasih, Nia.”
Tiba-tiba kedua orang tua Rani datang. Mereka sangat ramah. Kami berempat berbincang-bincang mengenai banyak hal, dari mulai kehidupanku sampai kehidupan Rani. Mereka merasa kagum atas perjuanganku dan Ibu untuk mencari uang. Mereka juga menyayangkan aku putus sekolah dan ingin membantuku untuk kembali bersekolah. Mereka akan membiayai aku masuk ke sekolah. Sekolah yang sangat aku dambakan. Rani dan kedua orangtuanya mengantarkanku pulang sekaligus untuk bertemu Ibu. Mereka menjelaskan keinginannya kepada Ibu untuk menyekolahkanku kembali. Besoknya, aku langsung mendaftar ke sekolah baruku.
“Nia, ayo cepat.” panggil Rani dari dalam mobil.
“Nia berangkat sekolah dulu, Bu. Assalamualaikum.” pamitku kepada Ibu dan segera berlari menghampiri mobil rani.
Akhirnya, aku bisa melanjutkan sekolahku. Aku satu sekolah dengan Rani, hanya saja satu tingkat di bawahnya. Rani kelas delapan dan aku kelas tujuh. Kami selalu bersama dan bersahabat baik. Aku sangat bahagia. Ini semua berkat Tuhan, juga berkat doa Ibuku dan bantuan dari keluarga baru Rani. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa membanggakan mereka semua. Aku akan menggapai cita-citaku menjadi seorang guru agar berguna bagi bangsa dan Negaraku. (Arni Yanti)