Sabtu, 02 April 2011

Sekolah Harapan

Matahari senantiasa selalu menemani setiap langkahku. Dua kilometer, jarak dimana kakiku melangkah menyusuri jalan raya yang terasa gersang akibat banyaknya debu kendaraan kota Bandung yang luas ini. Namun, lelah dan haus akibat berjalan yang kurasakan rasanya hilang begitu aku sampai di tempat yang kusukai, sekolah. Aku sangat suka belajar, karena dengan belajar, aku merasa menjadi orang yang berguna bagi banyak orang, terutama ibuku.
Namaku Nia, seorang anak yang hanya memiliki ibu di dunia ini, tanpa ayah, tanpa keluarga lainnya. Meskipun kami hanya hidup berdua, tapi aku merasa sangat bahagia memiliki seorang ibu yang sangat tabah dan kuat dalam menjalani kehidupan ini. Ibuku mencari uang dengan berjualan lotek. Aku biasa membantu ibu menghitung hasil penjualan loteknya setiap hari karena di sekolah, aku diajarkan matematika yang ternyata bisa langsung aku pergunakan di kehidupan nyata. Aku menjadi siswi di sebuah Sekolah Dasar Negeri di pinggiran kota Bandung. Salah satu sekolah yang benar-benar gratis dimana para muridnya tidak dipungut biaya administrasi apapun. Sekolah yang sangat cocok bagi anak yang kurang mampu seperti aku dan teman-temanku yang lainnya.
“Nia, kok kamu baru datang? Sebentar lagi kan bel masuk berbunyi. Untung kamu tidak terlambat.” sapa Rani, sahabatku. Dia memang sangat baik dan peduli terhadapku.
“Tadi aku membantu Ibu berbelanja ke pasar dulu. Yuk, kita masuk kelas.” jawabku singkat.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional SD. Aku sudah mempersiapkan diriku dengan sangat baik, setiap hari aku tidak pernah berhenti belajar. Aku ingin lulus dan meneruskan ke sekolah lanjutan negeri favorit di Bandung. Aku ingin membuat Ibu bangga. Aku akan bersungguh-sungguh belajar supaya bisa menjadi guru di kemudian hari, agar berguna bagi bangsa dan Negara.
“Nia.. Nia..” suara Ibu keras sekali memanggil namaku.
Segera aku berlari menuju ke ruang tamu dimana Ibu berada, “Iya Bu, ada apa?” jawabku cepat.
“Kamu lulus nak, dan menjadi juara umum. Ibu sangat bangga kepadamu.” Ibu meneteskan airmatanya sambil tersenyum. Dia memelukku dengan sangat erat. Aku sangat bahagia.
Setahun sudah semenjak kelulusan tersebut, setiap hari kuhabiskan waktuku dengan bernyanyi di tengah kota, tepatnya di lampu merah. Aku menjadi seorang pengamen karena tidak dapat melanjutkan sekolah. Meskipun biaya SMP Negeri gratis tetap saja ada biaya administrasi yang harus dilunasi dan Ibu tidak mampu untuk membayarnya. Dengan terpaksa aku bernyanyi setiap hari demi recehan yang sangat berarti bagi kehidupanku dan Ibu. Aku tetap setia bernyanyi, tetap ditemani matahariku. Hatiku terasa sakit setiap kali melihat murid-murid SMP berjalan di hadapanku. Jujur aku iri, aku ingin bersekolah seperti mereka. Untung saja aku memiliki Ibu yang sangat baik. Beliau selalu menyemangatiku dan membuatku berusaha sabar dalam menjalani kehidupan.
“Nia! Nia!” teriak seseorang dari dalam mobil di belakang tempatku bernyanyi.
Dengan penasaran aku memandang orang yang memanggilku, aku berjalan mendekatinya. Ternyata sosok yang kudekati adalah Rani, sahabat yang sudah genap setahun kami tidak bertemu. Rani terlihat berbeda. Ia terlihat semakin cantik dan terawat. Dan yang membuatku heran adalah ia menggunakan mobil mewah. Benar-benar membuatku kebingungan bercambur senang bertemu dengannya.
“Nia, ko kamu disini?” tegur Rani dengan nada penasarannya.
“Hmm, iya. Aku menjadi pengamen sekarang. Dan kamu, bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Aku menjawab masih dengan perasaan bingung bercampur senang.
“Masuklah, kita ngobrol sebentar. Nanti akan kuceritakan semuanya.” ajak Rani. Aku langsung mengiyakan untuk mengatasi kebingunganku.
Rani mengajakku ke rumahnya. Rumah yang begitu megah. Aku terkagum-kagum melihatnya.
“Rani, ini rumah kamu?” tanyaku dengan sangat penasaran.
“Iya, ini rumahku sekarang. Duduklah, aku akan menceritakan semuanya.” Aku duduk dan siap untuk mendengarkan cerita dari Rani.
“Tak lama setelah kelulusan SD, kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kemudian, orang yang menabrak kedua orangtuaku mengangkat aku menjadi anak mereka. Mereka merasa sangat bersalah, tapi aku tidak membenci mereka karena aku tahu mereka tidak sengaja melakukannya. Aku menerima ini sebagai takdir. Aku hanya ingin kedua orangtuaku tenang di alam sana.” Rani mengenang masa lalu dan menceritakan semuanya kepadaku. Sesekali kulihat matanya mengeluarkan airmata.
“Rani, aku ikut sedih mendengarnya. Kedua orangtuamu adalah orang yang baik dan aku yakin Tuhan akan menjaga mereka di surga.” Aku berusaha menghibur Rani.
“Terimakasih, Nia.”
Tiba-tiba kedua orang tua Rani datang. Mereka sangat ramah. Kami berempat berbincang-bincang mengenai banyak hal, dari mulai kehidupanku sampai kehidupan Rani. Mereka merasa kagum atas perjuanganku dan Ibu untuk mencari uang. Mereka juga menyayangkan aku putus sekolah dan ingin membantuku untuk kembali bersekolah. Mereka akan membiayai aku masuk ke sekolah. Sekolah yang sangat aku dambakan. Rani dan kedua orangtuanya mengantarkanku pulang sekaligus untuk bertemu Ibu. Mereka menjelaskan keinginannya kepada Ibu untuk menyekolahkanku kembali. Besoknya, aku langsung mendaftar ke sekolah baruku.
“Nia, ayo cepat.” panggil Rani dari dalam mobil.
“Nia berangkat sekolah dulu, Bu. Assalamualaikum.” pamitku kepada Ibu dan segera berlari menghampiri mobil rani.
Akhirnya, aku bisa melanjutkan sekolahku. Aku satu sekolah dengan Rani, hanya saja satu tingkat di bawahnya. Rani kelas delapan dan aku kelas tujuh. Kami selalu bersama dan bersahabat baik. Aku sangat bahagia. Ini semua berkat Tuhan, juga berkat doa Ibuku dan bantuan dari keluarga baru Rani. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa membanggakan mereka semua. Aku akan menggapai cita-citaku menjadi seorang guru agar berguna bagi bangsa dan Negaraku. (Arni Yanti)

Rabu, 12 Januari 2011

Kajian Feminisme Wening karya Yanusa Nugroho

CERPEN “WENING” KARYA YANUSA NUGROHO: KAJIAN FEMINISME SASTRA
Arni Yanti (0908790)
Abstrak
Tulisan ini mengkaji cerpen “Wening” karya Yanusa Nugroho secara feminisme. Tujuan kajian feminisme cerpen ini adalah untuk memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita yang terdapat dalam karya tersebut. . Metode feminisme dalam analisis ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana isu-isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis sesuai dengan kenyataan dalam teks Wening karya Yanusa Nugroho.
1. Pendahuluan
Feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian lebih sempit, yaitu dalam sastra , feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resespsi.emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial lbh dkenal sbg gerakan kesetaraan gender.
Sugihastuti (2005:15-16) mengemukakan bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan --pendeknya- derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Ketiga, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Keempat, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata diresepsi dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk mmperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-centric (menggunakan pikiran-pikiran), sementara wanita sebagai hetero-centric ( untuk orang lain).
Oleh karena itulah, feminis memiliki kaitan erat dengan Marxisme, seksisme, rasisme, dan perbudakan sebab ternyata paham-paham tersebut menyatakan adanya penindasan terhadap kelompok atau kelas lain yg lebih lemah. Meskipun demikian , kaitan feminis dengan Marxis , khususnya Marxis ortodoks bersifat ambigu sebab pada dasarnya bagi kelompok Marxis tersebut perempuan disamakan dengan kaum buruh, jadi termasuk kelompok tertindas.
Cerpen “Wening” karya Yanusa Nugroho mengangkat tema tentang kehidupan seorang wanita bernama Wening, seorang penari profesional yang sukses namun setelah menikah, suaminya melarang Wening untuk menari sehingga Wening tersiksa dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian feminisme yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya sastra yang dihubungkan dengan posisi wanita di kehidupan nyata di masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori feminisme.
2. Kajian Pustaka
2. 1 Feminisme Karya Sastra
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5). menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
2.2 Tujuan Kajian Feminisme
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan keduduk¬an dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de¬ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan ser¬ta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini menca¬kup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memper¬oleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000:4).
Lebih lanjut Djajanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
a. KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
b. KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
c. KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
e. KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
f. KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Metode Penelitian
Langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dimulai dengan menganalisis struktur suatu karya sastra. Analisis struktur tidak berbeda dengan analisis pada kajian lainnya. Langkah berikutnya mendeskripsikan bagaimana isu-isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis sesuai dengan kenyataan teks.

4. Tinjauan terhadap Cerita Wening
4.1 Sinopsis
Wening adalah seorang penari professional yang cukup sukses dan terkenal pada masanya namun setelah menikah dengan seorang pria bernama Irfan, kehidupannya berubah tidak sesuai dengan keinginannya. Wening berubah menjadi Bu Irfan, yang harus selalu menjaga penampilan, siap senyum, tak banyak gerak, tak banyak bicara, dan dia bukan lagi Si Wening. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera.
Wening selalu kesepian di rumahnya sendiri. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, dan Neny, si ABG sering pergi keluar rumah seenaknya. Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
Hingga suatu ketika, Wening berulang tahun. Hanya kecupan dari kedua anaknya yang ia dapat tetapi tidak ada dari suaminya. Wening membuka album foto dirinya ketika terakhir pentas, sebelum menikah dengan Irfan. Tak lama Irfan datang dan melihat Wening yang sedang melihat album foto, ia marah, mencengkeram Wening dan mengucapkan kata-kata kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulutnya. Namun, Wening melawan, ia masuk ke dalam kamar. Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan.
Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu hingga rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai kemudian Wening menari, terus menari. Wening menari dengan kepedihannya. Dia menapaki lantai sebagaimana dia jalani hidupnya yang dingin dan datar. Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu.
Irfan mencoba meringkus istrinya, dibantu sanak saudara yang ada di situ. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Irfan mencoba menyadarkan istrinya, tak terdengar sama sekali oleh Wening. Wening bahkan tak melawan. Dia hanya tersenyum, karena bahkan tubuhnya pun bukan lagi miliknya. Karena saat ini, dia tengah menari dengan jiwanya. Bahkan ketika mobil dari RSJ datang dan membawanya pergi, Wening tetap menari, menyampaikan gerak-gerak lembut untuk melembutkan nurani manusia.
4.2 Analisis feminisme cerita Wening
Wening adalah seorang istri yang baik, dia berp¬eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang¬ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Di dalam rumah tangganya yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Wening pun dilarang oleh suaminya untuk menari. Wening dilarang melakukan hal yang sangat ia cintai dan gemari. Wening kehilangan kebebasannya.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
(Nugroho: paragraf 10-11)
Wening membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Tapi sebenarnya dalam hatinya ia tersiksa, bukan karena ia tidak mau menjadi istri yang penurut tapi Wening ingin dibiarkan menari oleh suaminya. Kalau pun suaminya melarangnya menari, Wening ingin menari untuk suaminya saja, tapi Suaminya tidak mau melihat Wening menari meskipun hanya untuknya. Selama 25 tahun Wening selalu berusaha untuk bersabar, meskipun batinnya tersiksa.
Hidupnya bagai berada dalam sebuah panggung pertunjukkan yang dimainkan di depan masyarakat. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera. Padahal sebenarnya keluarga meraka bukanlah keluarga yang harmonis. Anak-anaknya sering keluar rumah seenaknya. Suaminya pun jarang pulang ke rumah, seakan-akan lupa memiliki istri dan anak. Wening menjalani kehidupannya, bersedih dalam hatinya, namun tetap memendam keinginan kuat untuk dapat menari lagi.
Sepi sekali malam ini. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, mungkin pergi dengan pacarnya. Neny, si ABG-itu, katanya tadi nonton “Berbagi Suami” ah, anak kecil yang selalu ingin tahu urusan orangtua. Bang Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Sejak hampir sebulan ini, suaminya itu hilang-hilang timbul di rumah ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
(Nugroho: paragraf 5)
Wening adalah seorang wanita yang lemah lembut, penurut terhadap suaminya, itu semua dia lakukan untuk membahagiakan suami. Ia rela menyimpan keinginannya untuk menari hanya dalam hatinya, itu semua sebagai tanda baktinya terhadap sang suami. Wening bersikap sebagai ibu rumah tangga yang baik, memperhatikan suami dan kedua anaknya. Perlakuan buruk suaminya , ia terima dengan pasrah dan tabah. Anaknya yang berbuat semaunya pun tak pernah terkena amarah Wening. Wening menginginkan suami dan kedua anaknya bahagia atas kelembutan hati dan sikapnya.
Wening selalu melakukan hal-hal sesuai dengan kemauan suaminya. Ia tidak pernah membangkang. Meskipun dalam hati dan pikirannya, ia ingin melawan. Wening ingin menari. Ia ingin bebas. Beberapa kali wening meminta izin kepada suaminya, ia berbicara dengan sangat lembut. Namun, suaminya tetap dengan pendiriannya, ia melarang wening menari. Wening hanya bisa bersedih, dan menerima keputusan suaminya dengan pasrah.
“Aku ingin menari, boleh ya, Bang?” bisiknya suatu malam, seusai badai kerinduan suaminya tumpah di seluruh sel tubuh Wening. Barangkali saja, setelah mereguk kenikmatan, Bang Irfan akan memberinya kesempatan. Tetapi, suaminya tak menjawab apa-apa, sudah mendengkur kelelahan. Wening hanya diam. Airmatanya beku, mengkristal di dinginnya malam. Sepi kian runcing, dan menusuknya tanpa kata. Dan sejak itu, hampir dua puluh tahun lalu, Wening tak ingin mendapat tusukan sepi lagi.
(Nugroho:paragraf 7)
Irfan, suami Wening, adalah orang yang keras, teguh pada pendiriannya, dan bersifat ingin selalu memimpin. Segala sesuatu yang diinginkannya, harus terjadi. Tidak ada yang boleh melanggar perintah dan keinginannya. Irfan selalu bersikap semaunya. Wening adalah objek bagi Irfan. Wening harus menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang hanya diam di dalam rumah, mengurusi anak dan suami. Tidak ada kebebasan bagi wening dalam berpendapat ataupun dalam menari. Wening dilarang melakukan hal yang paling ia cintai dan gemari. Wening harus sesuai dengan yang Irfan inginkan.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
(Nugroho: paragraf 10-11)
Tokoh Wening yang ked¬udukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional, dipandang menempati ked¬udukan yang inferior atau lebih rendah daripada ke¬dudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berp¬eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang¬ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Tokoh Wening memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangganya yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, Irfanlah yang memegang kuasaan, dan hidup Wening menjadi tergantung pada suaminya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangga¬nya akan ditentang oleh para feminis.
Namun ternyata pada akhirnya muncul sikap feminis dari Wening. Pada puncak kesabarannya, Wening melawan. Ia menari, terus menari, tanpa henti. Wening mencurahkan segala yang dirasakannya selama 25 tahun dengan menari.
Suaminya diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Wening terpaku. Pintu terbanting. Pasti bisnisnya gagal.
Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”
“Apa salahku punya keinginan menari?”
“Itu kesalahanmu!”
“Baik…. Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan menjadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar.
Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan. Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu.
Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.
(Nugroho: paragraf 20-23)
Wening yang telah putus asa karena kelakuan suaminya yang egois dan seenaknya, berusaha untuk bangkit. Wening melakukan hal yang sangat dia inginkan, yang selama ini dilarang oleh suaminya. Wening menari. Ia ingin melampiaskan kesedihan dan keterpurukannya dengan menari. Wening mencurahkan segala yang ia rasakan dalam tariannya, membuat semua orang yang melihatnya mengerti betapa menderitanya ia selama ini. Wening menari, terus menari, tanpa henti, dan tidak ada satu orang pun yang bisa menghentikan Wening menari. Akhirnya Wening bebas dalam kehidupannya sendiri.
Yanusa Nugroho dalam cerpen yang berjudul Wening ini menggambarkan ketabahan dan kelembutan seorang wanita. Betapa sabarnya seorang wanita yang selalu berusaha berkorban demi rumah tangganya, mengorbankan hal yang sangat penting bagi dirinya. Membiarkan dirinya diinjak-injak oleh suaminya. Yang menjadi tujuannya hanyalah kebahagiaan suami dan anak-anaknya. Menahan kepahitan yang selalu dirasakan olehnya. Namun, seorang wanita bukanlah malaikat, ia hanyalah manusia biasa, yang memiliki batas kesabaran. Sekian lama wening bersabar hingga akhirnya Wening terpuruk dan melampiaskan semua yang ia rasakan dengan tariannya, tarian yang membuat dia merasa lega. Wening pejuang, ia memperjuangkan kebahagiaan bagi dirinya dengan menari.
Daftar Pustaka
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina.
Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti, Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna , Nyoman Kutha. 2009. Teori,Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Cerpenkompas.wordpress.com
Lampiran
Wening
Yanusa Nugroho
Diangkatnya lengannya perlahan-lahan. Lengkung-lekuk lengan dengan jari meruncing itu membentuk bayangan di tembok. Pergelangan tangan itu ngukel1, lalu telunjuknya menjentik. Dia tersenyum. Keindahan memang tak bisa diam, selalu ingin keluar dan mempertontonkan dirinya. Sekali lagi dia tersenyum, sambil tetap memandangi bayangannya sendiri di tembok.
Dibayangkannya, nanti dia akan mengurai rambutnya yang panjang, yang oleh Mas Ondi—penata busana, akan diberi untaian melati. Jadi, nantinya, di sela-sela rambut panjangnya itu akan ada untaian melati yang bukan saja indah, tetapi menebarkan harum yang samar- samar. Ah, di tangan Mas Ondi dia akan menjelma Drupadi.
Seandainya saja Bang Irfan bisa memahami ini, tentu akan lain ceritanya.
Waktu terlipat oleh kecepatan, entah siapa yang menjadi biang keladinya. Semua tiba-tiba saja menggumpal di kenangannya. Dia berada di tandu, yang alas duduk maupun atapnya berpaku-paku. Berdiri luka, duduk luka. Memilih “ya” dia akan melukai jiwanya, menolak untuk “ya” pun dia melukai orangtua dan seluruh keluarganya. Tetapi, siapakah yang akan menjalani hidupnya jika bukan dirinya sendiri?
Sepi sekali malam ini. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, mungkin pergi dengan pacarnya. Neny, si ABG-itu, katanya tadi nonton “Berbagi Suami” ah, anak kecil yang selalu ingin tahu urusan orangtua. Bang Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Sejak hampir sebulan ini, suaminya itu hilang-hilang timbul di rumah ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak.
Dia memang memilih untuk “ya” waktu itu dan bersiap kecewa menelan luka itu dengan ketegaran. Maka hidupnya berubah menjadi Bu Irfan, yang harus selalu menjaga penampilan, siap senyum, tak banyak gerak, tak banyak bicara, dan dia bukan lagi Si Wening. Wening si prenjak telah musnah. Wening si bunga matahari, sudah punah. Wening si walet, harus masuk sangkar; sesuatu yang mustahil sebetulnya, tetapi inilah hidupnya, sejak 25 tahun yang lalu.
“Aku ingin menari, boleh ya, Bang?” bisiknya suatu malam, seusai badai kerinduan suaminya tumpah di seluruh sel tubuh Wening. Barangkali saja, setelah mereguk kenikmatan, Bang Irfan akan memberinya kesempatan. Tetapi, suaminya tak menjawab apa-apa, sudah mendengkur kelelahan. Wening hanya diam. Airmatanya beku, mengkristal di dinginnya malam. Sepi kian runcing, dan menusuknya tanpa kata. Dan sejak itu, hampir dua puluh tahun lalu, Wening tak ingin mendapat tusukan sepi lagi.
Malam ini, sebetulnya adalah hari ulang tahunnya. Di meja telah tersaji tumpeng kuning, kering tempe, abon, rajangan dadar, ketimun, cabe yang dibelah-belah lalu direndam di air sehingga ujung-ujung belahan itu melengkung indah, seperti tangan penari.
Diamatinya tumpeng kecil yang ditatanya sendiri sesore tadi. Hanya kecupan dan ucapan “Happy birthday, Mom…” dari Neny sebelum pergi. Ciuman kecil di pipi dari Sony pun diterimanya, juga sebelum nggeblas dengan Escape-nya. Tetapi tak ada dari Bang Irfan, bahkan sms. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera. Dia ingin menari. Dia ingin menjelma Drupadi. Tumpeng dan lauk-pauk itu ingin menjelma bedaya. Mereka bergerak dalam diam. Mereka membentuk pola-pola lantai yang rancak, rapi, hening, namun memancarkan kesungguhan mempersembahkan keindahan. Keindahan yang hanya bisa dilihat oleh keheningan jiwa. Dan jiwa itu, mengapa hanya ada pada dirinya?
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….”
“Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.”
“Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….”
“Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa.
Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian.
Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu dia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah Drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum.
Dialah yang membiarkan kain panjangnya terjulur jauh beberapa meter di belakangnya, memberikan keheningan, menyedot seluruh pancaindera penonton, dan memaksanya untuk memasuki sebuah alam yang bernama kesepian. Dialah yang terus bergerak dengan iringan nafas-nafas tertahan para penontonnya, melangkah hati-hati, menapaki tangga tengah menuju panggung gelap gulita. Cahaya lampu berkebit, tertiup pendingin udara.
Dalam gemulai geraknya, Drupadi ingin meneriakkan sesuatu yang lama dipendamnya. Akulah keindahan. Akan kuajarkan kepada kalian, wahai makhluk bumi, bahwa inilah jiwa kalian. Biarkan matamu menangkapnya, namun jangan biarkan dia menilainya karena matamu tak akan mampu menyampaikannya. Jiwamu lebih halus, dan karenanya, ajaklah dia berbicara. Dan malam ini aku mengundang jiwamu untuk bercengkerama bersamaku. Izinkan dia bersamaku malam ini, maka kau akan dilimpahi cahaya.
Itulah yang menggerakkan Drupadi, menghidupkannya dalam sebuah lakon. Dan penonton memang tak bisa membedakan, manakah Wening dan manakah Drupadi. Tepuk tangan berkepanjangan, berulang, menggema. GKJ pecah, malam itu.
Tetapi, itulah yang menggemakan sepi berkepanjangan hingga malam ini. Wening ingat, di masa kanak-kanak dulu jika ditanya tentang cita-citanya, dia selalu lantang menjawab, “jadi penari..!” dan disambut gelak tawa siapa pun yang bertanya.
Dan ketika diwawancara wartawan seusai “Drupadi Mulat”, Wening remaja 18 tahun itu menjawab, “Semoga suami saya kelak memanjakan saya dengan membolehkan saya menari…” jawabnya agak polos dan kekanakan.
Wening tersenyum pahit mengenang semuanya.
Langkah kaki tergesa menyeberangi ruangan. Wening bangkit dari tempat duduknya. Langkah yang sudah dihafalnya benar. Bang Irfan pulang. Mereka terhenti di suatu ruang, yang menciptakan jarak sepi. Bang Irfan melihat tumpeng dan album yang belum tertutup.
“Masih saja … dasar.”
Wening tercambuk, darah mengalir. Begitu kasar ucapan bang Irfan. Belum cukup rupanya kelembutan yang diberikannya selama ini.
“Abang pulang? Sudah makan, Bang?” sapanya.
Suaminya diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Wening terpaku. Pintu terbanting. Pasti bisnisnya gagal.
Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”
“Apa salahku punya keinginan menari?”
“Itu kesalahanmu!”
“Baik…. Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan menjadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar.
Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan. Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu.
Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.
Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati>jmp -2008m<>h 7028m,0<>w 7028m<2>jmp 0m<>h 9738m,0<>w 9738mDilaluinya pintu yang rusak itu. Dan baginya, pintu hidupnya, yang menjaganya dari campur tangan orang lain, memang telah rusak—lama sebelum malam ini. Mengapa suaminya tega merusak sesuatu yang menjadi miliknya? Benarkah perkawinan membuat Wening harus melebur dan menghancurkan dirinya, kemudian menjelma menjadi Bu Irfan? Tidak untuk malam ini. Tidak, sejak malam ini. Dia adalah Wening. Dia akan menari, membawa keindahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, dan membagikannya kepada dunia. Mengapa keindahan harus ditakar dengan kaleng bekas mentega?
Dengan tatapan pada bumi, dilewatinya Irfan yang terpasak di tempatnya berdiri. Dia ingin mengatakan kepada Irfan bahwa leher jenjangnya adalah keindahan yang seharusnya membuat manusia kian bercahaya. Namun, yang anehnya, malah membuat suaminya terbenam dan terbakar berahi. Mengapa keindahan selalu dimakan api? Tak adakah sepercik rasa syukur, melalui kekaguman atas keindahan ciptaan-Nya? Sesekali pula Wening mengubah posisi tubuhnya, condong ke depan, menariknya perlahan, miring ke kanan, menoleh ke sudut. Wening yakin sekali, dari tempatnya berdiri, Irfan akan menyaksikan sebuah bangun indah, sebuah bangun menakjubkan, yang berhasil diciptakannya.
Perlahan langkahnya menjauh, dan dibiarkannya samparan itu menjulur panjang, terseret gerak tubuhnya. Sengaja dibiarkannya Irfan menjadi begitu bodoh, dungu, bebal dengan tatapan matanya yang entah mempertanyakan apa. Dibiarkannya, kali ini, laki-laki itu tersuruk-suruk ketidakpahamannya akan apa yang disaksikan kedua matanya; ah, laki-laki memang tak pernah dewasa, tak paham akan keindahan. Dirimu hanya dikuasai sesuatu yang bahkan hanya kau sembunyikan di balik celana dalammu.
Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetangganya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya.
“Mama… please…,” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi Wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu.
Irfan mencoba meringkus istrinya, dibantu sanak saudara yang ada di situ. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Irfan mencoba menyadarkan istrinya, tak terdengar sama sekali oleh Wening. Wening bahkan tak melawan. Dia hanya tersenyum, karena bahkan tubuhnya pun bukan lagi miliknya. Karena saat ini, dia tengah menari dengan jiwanya.
Bahkan ketika mobil dari RSJ datang dan membawanya pergi, Wening tetap menari, menyampaikan gerak-gerak lembut untuk melembutkan nurani manusia. Gerak-gerak gemulai yang membangkitkan kekuatan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri….
Bukit Nusa Indah, 982
1 Gerak tari Jawa, khususnya pada bagian tangan.
2 Sebuah komposisi gending yang oleh sebagian orang dianggap sakral.

Kajian Semiotik Sajak Kupu Malam dan Biniku karya Chairil Anwar

KUPU MALAM SEBAGAI SIMBOL WANITA JALANG
PADA SAJAK KUPU MALAM DAN BINIKU KARYA CHAIRIL ANWAR1

Oleh:
Arni Yanti2

Abstrak

Tulisan ini mengkaji sajak “Kupu Malam dan Biniku” karya Chairil Anwar secara semiotik. Tujuan kajian semiotik sajak ini adalah untuk mendapatkan makna sajak sepenuhnya. Sajak merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan penggalian makna dari setiap kata-kata dalam sajak tersebut. Metode semiotic dalam analisis ini dilakukan dengan cara menganalisis bahasa yang dimulai dengan menganalisis aspek sintaksis, menganalisis aspek semantik, kemudian menganalisis aspek pragmatik yang terdapat dalam sajak “Kupu Malam dan Biniku” karya Chairil Anwar.

Kata Kunci: analisis, bahasa, semiotik, sintaksis, semantik, pragmatik.

1. Pendahuluan

Puisi sebagai karya seni puitis, mengandung nilai keindahan yang khusus. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam mencapai kepuitisan itu penyair memepergunakan banyak cara sekaligus, secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970:4-5), yang lebih besar daripada pengaruh beberapa komponen secara terpisah penggunaannya. Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semuanya itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin, seintensif mungkin.

Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Penyair tampaknya mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-

1 Makalah ini disusun sebagai pengganti Ujian Akhir Semester 3 dalam mata kuliah Kajian Puisi Indonesia yang diampu oleh Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd. dan Rudi Adi Nugroho, M. Pd.
2 Penulis adalah mahasiswa Prodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Angkatan 2009 dengan NIM. 0908790
hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya (Slametmuljana, 1956:5). Dalam puisi belum cukup bila hanya dikemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair ialah supaya siapa yang membaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan dan dialami penyair.

Penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (Culler, 1977:8), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada (Culler, 1977:116). Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Setiap penulis melaksanakan ‘tandatangan’nya sendiri yang khusus dalam cara penggunaan bahasanya, yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1967:50). Maka hal ini sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahsa yang umum. Dalam puisi penyimpangan dari sistem tata bahsa normatif sering terjadi. Maksudnya untuk mendapatkan efek puitis, untuk mendapatkan ekspresivitas.

Sastra merupakan karya (imajinatif) yang bermedium bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya sastra itu adalah tanda-tanda kebahasaan meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan konvensi tambahan. Konvensi tambahan itu diantaranya: perulangan, persajakan, tipografi, pembagian baris sajak, pembaitan, persejajaran, makna kiasan karena konteks dalam struktur, yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sastra.

Adapun latar belakang penulis memilih sajak “Kupu Malam dan Biniku” karena penulis merasa tertarik pada makana yang terkandung dalam sajak ini, terutama dari judulnya. Kupu malam yang identik dengan wanita tuna susila yang disandingkan dengan kata bini atau istri. Dari judulnya menggambarkan hubungan antara seorang istri dengan penjualan diri seorang wanita atau dengan perselingkuhan seorang istri terhadap suami, layaknya sikap wanita tuna susila yang dapat berhubungan dengan beberapa lelaki yang berbeda.

Sajak “Kupu Malam dan Biniku” karya Chairil Anwar mengangkat tema tentang kehidupan percintaan tokoh aku yang dikhianati oleh istrinya. Kesedihan dan ketidakpercayaan tokoh aku akan penipuan istrinya, istri yang sudah tujuh tahun bersamanya. Berikut isi sajaknya:









Kupu Malam dan Biniku

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943

Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian semiotik yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya sastra (sajak) untuk mendalami makna secara penuh. Berkaitan dengan hal ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik.

2. Kajian Pustaka

2. 1 Semiotik Karya Sastra

Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudaya¬an itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memun¬gkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (di¬ukan) konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119).

Menurut pandangan semiotik, setiap tanda terdiri dari dua aspek, yaitu penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu atau dituju oleh tanda tertentu).

Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.

Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pende¬katan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).

Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai berikut.
”Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara semiotik dan strukturalisme.
(a) Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural.
(b) Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus, 1988: 98).

Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor’, kepada strukturalisme. Tapi tidak demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat memisahkan diri dari strukturalisme, ia memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu teks secara strukturalisme.”

2.2 Tujuan Kajian Semiotik

Inti tujuan semiotik adalah memahami makna yang terdapat dalam suatu karya sastra. Menganalisis sajak adalah usaha untuk menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata-mata hanya arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan.

3. Metode Penelitian

Langkah mengkaji sajak berdasarkan semiotik dalam penelitian ini dimulai dengan menganalisis struktur suatu karya sastra. Kemudian menjadikan unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol-simbol tersebut dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya.



4. Analisis Semiotik Sajak “Kupu Malam dan Biniku”

Si aku yang sembari berjalan setelah adanya pertikaian yang terasa halus sekali, mempercepat langkahnya tanpa memalingkan muka ke belakang, tanpa mempedulikan siapapun. Si aku takut dan khawatir terhadap luka atau penderitaannya yang telah terbuka bukan untuk pertama kalinya terlihat oleh orang lain di luar sana. Luka dan penderitaannya semakin parah, bengkak bernanah dan terbuka lebar, memperlihatkan rasa sakit yang dialami si aku begitu dalam. Di perjalanan yang sulit ini, pikiran si aku teringat pada bini(istri)nya, teringat akan kelakuan istrinya yang benar-benar telah menyakiti hati si aku. Si aku tak menyangka bahwa kehidupan rumah tangganya bisa menjadi seperti ini, istrinya telah tega begitu menyakiti hati si aku. Meskipun mereka sudah bersama-sama menjalin hubungan pernikahan selama tujuh tahun lamanya. Mungkin tak banyak yang diketahui si aku mengenai istrinya, bahwa ternyata istrinya telah tega mengkhianati pernikahan mereka. Istrinya telah tega menipu si aku.

Sajak ini berjudul ”Kupu Malam dan Biniku”. Kupu malam maksudnya kupu-kupu malam artinya wanita tunasusila atau pelacur. Penyair bermaksud menceritakan tokoh wanita yang berkelakuan layaknya wanita tunasusila. Tokoh wanita yang dimaksud penyair adalah tokoh bini atau istrinya sendiri yang telah mengkhianatinya, berselingkuh atau berhubungan dengan lelaki lain, dan bukan untuk pertama kalinya sseperti dijelaskan pada bait kedua baris dua ”Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang”, sekali lagi, berarti bukan untuk pertama kalinya si istri melakukan perbuatan tercela seperti ini. Hal ini membuat istrinya terlihat layaknya seorang wanita tuna susila di mata penyair atau tokoh aku.

Tanda-tanda semiotik untuk kesedihan dan kekecewaan di dalam sajak ini ialah kata: berselisih, ngeri..luka, ...sekali lagi, barah ternganga, lautan yang belum terduga, tak setahuku, menipuku. Dapat dikatakan, ini merupakan salah satu sajak Chairil anwar yang memang pada umumnya bersuasana murung, suram, dan sedih.

Dalam hal bunyi, yang dominan dalam sajak ini adalah bunyi vokal u dan a yang semuanya ini memberi kesan gambaran suasana yang berat dan sedih, sesuai dengan suasana kesakitan dan penderitaan yang memang digambarkan dalam sajak ini. Begitu juga persajakan atau rima akhir, selain untuk kemerduan dan kelancaran ekspresi yang memebuat liris serta untuk memeperkeras arti yang terdapat dalam sajak ini.








Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

........................

Barah ternganga

Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.

Untuk ekspresivitas dan kepadatan, dalam sajak ini terdapat penyimapangan dari tata bahasa normatif:

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

.........................
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

hal ini dilakukan supaya ekspresivitasnya tidak hilang karena tidak padat dan tidak berirama.

Dalam sajak ini dipergunakan beberapa citraan, seperti citra penglihatan dan citra gerakan. ” Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang” suatu gerakan digambarkan melaui citra gerakan, si aku bergerak berjalan dengan cepat, tanpa menoleh ke belakang. Begitu juga adanya citra visual atau citra penglihatan, ” Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang. Barah ternganga”, gambarana luka si aku yang semakin parah, barah ”bengkak bernanah”, semakin terbuka lebar, semakin terlihat luka yang sedang di derita oleh tokoh aku.

Dari uraian di atas tampak adanya koherensi yang kuat dalam sajak ini antara unsur-unsurnya: kiasan, gaya, citraan, bunyi, kepdatan, ekspresivitas, persajakan dan rima akhir. Semuanya membentuk suasana kesakitan dan penderitaan yang dialami tokoh si aku dalam sajak ”Kupu Malam dan Biniku” ini.



5. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam sajak ”Kupu Malam dan Biniku” karya Chairil Anwar ini berisi tentang kisah percintaan tokoh aku yang gagal akibat pengkhianatan istrinya. Semua unsur yang terdapat dalam sajak ini secara koherensi membentuk gambaran suasana kesakitan dan penderitaan yang dirasakan oleh tokoh aku.

Daftar Pustaka

Junus, U. 1988. Karya Sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Pradopo, D.R. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerpannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1997. Citra manusia dalam Karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.
Winfrid North. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Pradopo, Djoko Rachmat. 2009. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kajian Feminisme Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian lebih sempit, yaitu dalam sastra , feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resespsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk mmperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subjek sebagai ego-centric (menggunakan pikiran-pikiran), sementara wanita sebagai hetero-centric ( untuk orang lain).
Oleh karena itulah, feminis memiliki kaitan erat dengan Marxisme, seksisme, rasisme, dan perbudakan sebab ternyata paham-paham tersebut menyatakan adanya penindasan terhadap kelompok atau kelas lain yg lebih lemah. Meskipun demikian , kaitan feminis dengan Marxis , khususnya Marxis ortodoks bersifat ambigu sebab pada dasarnya bagi kelompok Marxis tersebut perempuan disamakan dengan kaum buruh, jadi termasuk kelompok tertindas.
Lakon “Nyai Ontosoroh” karya R. Giryadi mengangkat tema tentang kehidupan seorang wanita bernama Sanikem, seorang gadis di daerah Tulangan yang dijual ayahnya pada seorang Tuan Besar. Setelah menjadi Nyai dari Tuan Besar, Sanikem mengubah namanya menjadi Nyai Ontosoroh. Kehidupan Nyai Ontosoroh penuh dengan permasalahan berat yang silih berganti, semuanya karena Nyai Ontosoroh seorang wanita asli pribumi yang dijadikan gundik.

Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian feminisme yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya sastra yang dihubungkan dengan posisi wanita di kehidupan nyata di masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori feminisme.
B. Kajian Pustaka
a. Feminisme Karya Sastra
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5). menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
b. Tujuan Kajian Feminisme
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan keduduk¬an dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de¬ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan ser¬ta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini menca¬kup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memper¬oleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000:4).
C. Metode Penelitian
Langkah mengkaji karya drama berdasarkan feminis dalam penelitian ini dimulai dengan menganalisis struktur suatu karya sastra. Analisis struktur tidak berbeda dengan analisis pada kajian lainnya. Langkah berikutnya mendeskripsikan bagaimana isu-isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis sesuai dengan kenyataan teks.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis Alur dan Pengaluran Lakon Nyai Ontosoroh
- Babak I
PENGIRIM
Keinginan Sastrotomo untuk menjadi Juru Bayar hingga rela menjual anaknya sendiri è
OBJEK
Sanikem ç PENERIMA
Tuan Besar Mellema
é
PENOLONG/
PEMBANTU
Tuan Besar Mellema mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan kepada Sanikem yang menjadikannya Nyai Ontosoroh, Nyai yang luar biasa. è
SUBJEK
Nyai Ontosoroh (sudah tak ingin menjadi Sanikem lagi) ç PENENTANG/
PENGHAMBAT
Kebencian Nyai Ontosoroh terhadap ayahnya yang demi menjadi Juru bayar rela menjadikannya sebagai Nyai


SITUASI AWAL TRANSFORMASI SITUASI AKHIR
TAHAP UJI KECAKAPAN TAHAP UTAMA TAHAP KEBERHASILAN
Keinginan Sastrotomo untuk menjadi Juru bayar, dan rela melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya itu, termasuk menjual anak kandungnya. Sanikem dijual oleh Sastrotomo kepada Tuan Besar Mellema yang menjanjikan akan menjadikan Sastrotomo sebagai Juru bayar. Sanikem dengan terpaksa menerima nasibnya menjadi seorang Nyai dan merubah namanya menjadi Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh berusaha menikmati kehidupannya sebagi seorang Nyai. Ia diajarkan banyak hal oleh Tuan Besar Mellema sehingga ia menjadi sangat pintar dan berwibawa. Namun dalam hatinya, ia selalu menyimpan kebencian pada ayahnya. Nyai Ontosoroh menjadi Nyai yang luar biasa, bahkan Tuan Besar Mellema bergantung kepada Nyai Ontosoroh karena Nyai Ontosoroh yang mengurus semua usaha Tuan Besar Mellema.


- Babak II
PENGIRIM
Kunjungan Minke ke rumah keluarga Mellema sehingga ia terpesona kepada Annelies. è
OBJEK
Annelies ç PENERIMA
Minke
(Annelies memiliki perasaan yang sama terhadapnya)
é
PENOLONG/
PEMBANTU
Nyai Ontosoroh yang menyetujui hubungan antara Minke dan Annelies. è
SUBJEK
Minke ç PENENTANG/
PENGHAMBAT
Tuan Besar Mellema dan Robert Mellema karena keduanya membenci pribumi.


SITUASI AWAL TRANSFORMASI SITUASI AKHIR
TAHAP UJI KECAKAPAN TAHAP UTAMA TAHAP KEBERHASILAN
Berkunjungnya Minke ke rumah keluarga Mellema karena ajakan Sahabatnya Suurhof. Disini Minke bertemu dengan Annelies dan langsung jatuh cinta kepadanya. Kedatangan Minke tidak disukai oleh Robert Mellema dan Tuan Besar Mellema, namun Nyai Ontosoroh, yang lebih berkuasa di rumah itu, mengizinkan Minke untuk selalu datang. Selama bersama-sama dengan Annelies, Minke semakin suka dan sayang kepada Annelies. Annelies juga perasaan yang sama seperti Minke namun ia ragu apat berhubungan dengan Minke. Nyai Ontosoroh meyakinkan Annelies dan juga mendukung hubungannya dengan Minke. Minke dan Annelies saling mencintai, mereka dapat menjalin hubungan kasih dan didukung oleh Nyai Ontosoroh.





- Babak III
PENGIRIM
Kedatangan Mauritz ke rumah keluarga Mellema untuk meminta TB Mellema menyidangkan kasus perceraian dengan ibunya. è
OBJEK
Tuan Besar Mellema ç PENERIMA
Minke
(Annelies memiliki perasaan yang sama terhadapnya)
é
PENOLONG/
PEMBANTU
TB Mellema, meskipun Mauritz membencinya tapi ia tetap ingin baik pada Mauritz. è
SUBJEK
Mauritz Mellema ç PENENTANG/
PENGHAMBAT
Nyai Ontosoroh yang tidak menyukai kedatangan Mauritz yang seenaknya.


SITUASI AWAL TRANSFORMASI SITUASI AKHIR
TAHAP UJI KECAKAPAN TAHAP UTAMA TAHAP KEBERHASILAN
Kedatangan Mauritz ke rumah keluarga Mellema untuk meminta TB Mellema menyidangkan kasus perceraian dengan ibunya. Kedatangan Mauritz tidak disukai oleh Nyai Ontosoroh, namun Tuan Besar Mellema senang melihat Mauritz dan menerima kedatangannya. Dengan nada marah, Mauritz memaki TB Mellema karena telah meninggalkan ibunya. Mauritz meminta TB Mellema untuk membuka kasus perceraian dengan ibunya ke persidangan. Setelah menyatakan apa yang diinginkannya, Mauritz pergi meninggalkan rumah tersebut.






- Babak IV
PENGIRIM
Annelies tidak dapat jauh dari Minke. Ia langsung sakit karena kerinduannya terhadap Minke. è
OBJEK
Annelies ç PENERIMA
Minke
é
PENOLONG/
PEMBANTU
Nyai Ontosoroh yang selalu menenangkan perasaan Annelies. è
SUBJEK
Minke ç PENENTANG/
PENGHAMBAT
Robert Mellema yang sangat membenci pribumi dan tidak menyukai hubungan Minke dengan adiknya.


SITUASI AWAL TRANSFORMASI SITUASI AKHIR
TAHAP UJI KECAKAPAN TAHAP UTAMA TAHAP KEBERHASILAN
Kedatangan Minke ke rumah keluarga Mellema untuk menemui Annelies yang sakit karena merindukannya. Kedatangan Minke tidak disukai oleh Robert Mellema, namun Nyai Ontosoroh dan Annelies menerima kedatangannya. Annelies jujur kepada Minke bahwa kesuciannya direnggut oleh Robert mellema. Minke semakin membenci Robert Mellema, namun ia menerima Annelies apa adanya. Minke tinggal bersama Annelies dan menikmati kebersamaan mereka.








- Babak V
PENGIRIM
Kematian Tuan Besar Mellema. è
OBJEK
Annelies dan seluruh harta milik Tuan Besar Mellema. ç PENERIMA
Mauritz Mellema dan Pengadilan Amsterdam.
é
PENOLONG/
PEMBANTU
Darsam dan Minke yang selalu membela Nyai Ontosoroh. è
SUBJEK
Nyai Ontosoroh ç PENENTANG/
PENGHAMBAT
Mauritz Mellema yang bersekongkol dengan Pengadilan Amsterdam untuk merebut semua yang dimiliki Nyai Ontosoroh.


SITUASI AWAL TRANSFORMASI SITUASI AKHIR
TAHAP UJI KECAKAPAN TAHAP UTAMA TAHAP KEBERHASILAN
Meninggalnya Tuan Besar Mellema yang diusut oleh Pengadilan Amsterdam termasuk masalah hak anak dan harta kekayaan Tuan Besar Mellema. Nyai Ontosoroh sangat dipojokkan dalam pengadilan yang bersekongkol dengan Mauritz Mellema. Nyai Ontosoroh telah membela diri dan keluarganya semampunya, dibantu pula oleh Minke. Nyai Ontosoroh kalah di pengadilan. Annelies harus hidup bersama keluarga Mauritz Mellema di Belanda. Annelies pasrah dibawa ke Belanda. Minke dan Nyai Ontosoroh sangat kecewa dan sedih kehilangan Annelies uang sangat mereka sayangi.

B. Analisis Tokoh dan Penokohan Lakon Nyai Ontosoroh
• Nyai Ontosoroh:
Istri dari Tuan Besar Mellema, berusia sekitar 30 tahun, sangat cantik dan pintar merawat diri. Seorang pengendali perusahaan yang sangat besar, dihormati dan disegani oleh banyak orang. Tidak pernah bersekolah namun rajin belajar dan membaca buku sehingga berpikiran dan bersikap layaknya orang yang berpendidikan. Membenci kolonial dan pemerintahannya. Sangat menyanyangi kedua anaknya, namun memendam kebencian terhadap kedua orang tuanya yang telah menjualnya kepada Tuan Besar Mellema. Bersikap tegas akan setiap permasalahan. Berpendirian kukuh dan keras terhadap dirinya sendiri, tidak ingin menjadi lemah di hadapan siapapun.
“MINKE
…Sampai sejauh ini orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang yang sekali-kali saja atau sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya : Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama On-to-so-roh, sebutan orang Jawa yang lidahnya suka kesleo…” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
“NYAI ONTOSOROH
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya…” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Tuan Besar Mellema
Seorang Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Bertubuh tinggi dan besar berkebangsaan Eropa. Seorang yang dihormati namun tidak dapat menerima permasalahan yang sangat berat sehingga pelariannya terhadap minuman keras dan bermain wanita.
“NYAI ONTOSOROH:
…Dulu saya memang Nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Lebih menyukai bersarang di rumah plesiran (pelacuran). Papapmu, orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah Papamu, Ann.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
• Robert Mellema
Anak sulung dari Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema, tampan dan gagah khas orang Eropa. Berkeinginan kuat menjadi Belanda sejati, sangat membenci hal-hal yang berbau pribumi termasuk ibunya sendiri. Berkelakuan tidak terpuji, karena selalu membantah ibunya bahkan tega memperkosa adik kandungnya sendiri. Tidak pernah mau kalah, egois, hanya memikirkan dirinya sendiri.
“ROBERT MELLEMA (Berteriak keras)
Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak perduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa. Aku bukan pribumi.
NYAI ONTOSOROH
Robert, masihkan sedikit punya kesopanan terhadap Ibumu? Buatmu, tidak ada yang lebih agung dari pada menjadi Eropa? Dan kau menginginkan semua pribumi untuk tunduk padamu yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Pergi sana. Jadilah orang Eropa yang kau agungkan.” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
• Annelies
Anak bungsu dari Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema. Seorang perempuan muda yang sangat cantik, tercantik di seluruh Bojonegoro. Impian semua pemuda. Sangat manja terhadap ibunya dan Minke, namun ulet dan bertanggung jawab dalam pekerjaannya sebagai seorang mandor. Lemah terhadap permasalahan yang berat, tidak dapat menerima permasalahan yang berat.
“MINKE
…Saya bahagia sekali, karena akhirnya bisa berkenalan dengan gadis pujaan para jejaka di Surabaya ini. Dia sangat manja pada Nyai. Dia sangat mencintai Nyai. Begitupun dia lebih suka diakui sebagai anak Nyai. Dia memanggil Nyai, Mama. Sayapun sering memanggil Nyai, Mama. Nyai lebih suka memanggil saya Nyo Minke…”(Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
• Minke
Putra bupati Brojonegoro. Sangat pintar dan cerdas. Berbakat dalam menulis. Menjadi penulis di salah satu koran Belanda. Berpikiran modern dan menyukai hal-hal berbau modern dan Eropa, berwawasan luas. Sangat menyayangi Annelies dan menghargai Nyai Ontosoroh.
“Oya, saya putera Bupati Brojonegoro. Beliau seorang yang sangat feodal. Dia sangat bangga dengan gelar ke-Jawaannya. Anak-anaknya diberlakukan seperti punggawa-nya. Orang Jawa harus sujud dan berbakti kepada yang lebih tua, kepada yang lebih berkuasa. Meski ajaran itu tetap saya indahkan, tetapi inilah kekeliaruannya. Orang yang lemah, akan terus diinjak oleh yang kuasa.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
“MINKE
Banyak pelajaran, Ann. Saya harus berhasil. Tahun depan saya harus tamat. (pause)Ann, saya selalu terkenang padamu. Kau gadis luar biasa.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
• Mauritz Mellema
Putra Tuan Besar Mellema dan istrinya yang berada di Belanda. pria muda yang gagah. Keras kepala dan memiliki obsesi yang kuat. Sangat menyayangi ibunya. membenci ayahnya yang telah tega meninggalkan ibunya.
“MAURITZ MELLEMA
Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, tuan Mellema! Ibuku, Mevrow Amelia Mellema-Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur.” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
• Darsam
Pengawal setia Nyai dari Madura, dan orang kepercayaan Nyai Ontosoroh. Menuruti semua perintah Nyai , sangat menjaga Nyai dan Annelies.
“NYAI ONTOSOROH
…Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!...” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Sastrotomo
Ayah Sanikem. Sangat berambisi untuk menjadi seorang Juru bayar, dan rela melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya tersebut, termasuk menjual anaknya sendiri kepada seorang Tuan besar. Haus akan kekayaan dan kekuasaan serta penghormatan dari sesamanya.
“SASTROTOMO
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Istri Sastrotomo
Ibu Sanikem. Seorang istri yang berbakti pada suaminya dan menuruti semua kehendak sang suami, meskipun dirinya tidak setuju dengan keputusan suaminya untuk menjual anaknya pada seorang Tuan Besar tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya bias menangisi kepergian anaknya.
“ISTRI SASTROTOMO
Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?
TUAN BESAR MELLEMA
Jadi ini anakmu? Bagus, bagus. Kowe, pintar… (Tertawa).
TUAN BESAR MELLEMA PERGI BERSAMA DUA PENGAWALNYA, MEMBAWA SANIKEM TANPA PERLAWANAN. SEMENTARA ISTRI SASTROTOMO, TERISAK MELIHAT ANAKNYA DIBAWA TUAN BESAR MELLEMA.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Sanikem
Nama kecil Nyai sebelum dijadikan Nyai oleh Tuan Besar Mellema. Sanikem merupakan seorang gadis yang sangat cantik. Berbakti dan menuruti keinginan orang tuanya.
“SASTROTOMO MENYERET SANIKEM. SANIKEM MERONTA. IBUNYA MEMBUNTUT DENGAN HATI YANG MERONTA. IA MEMBAWA SEKOPOR PAKAIAN ANAKNYA YANG KUMAL. SEMENTARA DI TEMPAT LAIN PARA BUDAK MENERIMA UPAH, SASTROTOMO MUNCUL DENGAN HATI RIANG. DI BELAKANGNYA ADA SANIKEM. IBUNYA YANG KELIHATAN RENTA, HANYA BISA TERTUNDUK LESU MERATAPI NASIB ANAKNYA. DI SUDUT LAIN, TUAN BESAR MELLEMA BERDIRI TEGAK, ANGKUH DAN SOMBONG.”(Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Babah Ah Tjong
Seorang Germo pelacuran. Pintar merayu oranglain demi kepentingannya. Berprofesi sebagai germo, pemilik sebuah rumah plesiran yang menjajakan para wanita cantik kepada para hidung belang demi mendapatkan banyak uang.
“BABAH AH TJONG
Aya…Tuan Besal mau ada yang balu. Di sana Tuan tinggal pilih-pilih. Ada lima yang balu-balu oi datangkan dari negeri Tiongkok. Yang local juga ada, oi datangkan dari Blitar dan Dampit. Tuan Besal pasti senang. Tinggal pilih, tinggal pilih. Meleka masih gadis-gadis…Meleka juga pada pandai menali.” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan II)
• Minem
Salah satu buruh pabrik Nyai Ontosoroh. Menginginkan menjadi mandor-perah di pabrik.
“ANNELIES
Kalau pekerjaanmu tidak pernah meningkat, apakah bisa menjadi mandor-perah?
MINEM
Bilih Ndoro Putri berkenan, saget mawon.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
• Buruh Pabrik.
Orang-orang yang bekerja di pabrik milik Tuan Besar Mellema.
“ORANG-ORANG SEDANG BEKERJA,HILIR MUDIK, MEMBAWA KARUNG-KARUNG(GULA) DAN JUGA BATANGAN TEBU DENGAN GELEDEKAN. MEREKA BERTELANJANG DADA.TUBUHNYA HITAM. ADA YANG KEKAR. TETAPI ADA JUGA YANG KURUS KERING.”(Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
• Pelacur
Wanita yang bekerja sebagai seorang tuna susila. Menjual tubuhnya demi mendapatkan uang.
“SEDERET PELACUR SEDANG BERPASANG-PASANGAN DENGAN LELAKINYA. BEBERAPA CENTENG BERJALAN KESANA-KEMARI. SEORANG PEMABUK MELINTAS.” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan I)
• Penduduk
Orang-orang yang berada di suatu daerah tertentu.
• Dua Utusan
Orang yang bekerja pada pemerintah Belanda, yang ditugaskan untuk menjemput Annelies dan membawanya ke negeri Belanda.
“DUA ORANG UTUSAN
Waktu kurang dua menit. Kapal akan segera berangkat.
SESEORANG MEMBAWAKAN KOPOR BESAR DARI DALAM. ANNELIES MEMELUK MINKE DAN NYAI ONTOSOROH. DUA ORANG UTUSAN DAN ANNELIES OUT STAGE.” (Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
• Meiko
Salah satu pelacur asal Jepang yang bekerja di tempat Babah Ah Tjong. Meiko lah yang pertama kali melayani Robert Mellema.
“(Robert Mellema on stage). Oh..tabik Sinyo Lobet. Hali bagus, Nyo. Hali pelesil sekalang. Ayoh, Nyo, mampil. Ada yang baru. Tinggal pilih, tinggal pilih, Nyo! Oh mungkin Sinyo tidak suka. Oi sediakan yang lain. Nah ini Meiko. Oi datangkan khusus buat Nyo, dari Jepun. Sinyo juga boleh pakai kamal mana saja Sinyo suka. Tinggal pilih, tinggal pilih. Ayo, Meiko bawa Sinyo Lobet ke dalam. Layani baek-baek. Pelalis..pelalis..(Robert Mellema out stage)” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan II)

C. Analisis Latar Lakon Nyai Ontosoroh
• Waktu :
– Waktu kini
- Saat Sanikem telah lenyap, begitu menjadi Nyai dari Tuan Besar Mellema, namanya berubah menjadi Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi seorang Nyai Boerderij Buitenzorg.
“NYAI ONTOSOROH
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
- Ketika Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema pindah ke Wonokromo.
“NYAI ONTOSOROH
Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. TB Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindahkan kemari.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan IV)
- Siang hari. Suasana pesta pora perayaan pengangkatan Sri Ratu Wilhelmina di Surabaya.
“SIANG HARI. SUASANA PESTA PORA PERAYAAN PENGANGKATAN SRI RATU WILHELMINA DI SURABAYA. BENDERA TRIWARNA (MERAH, PUTIH, BIRU) BERKIBAR DI MANA-MANA. TERPAMPANG FOTO BESAR SRI RATU WILHELMINA. SUARA MUSIK HINGAR BINGAR. ORANG-ORANG BERLARIAN MENGIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH BIRU.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Saat Minke berkunjung ke Boerderij Buitenzorg, menemani Annelies.
“NYAI ONTOSOROH
Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus tamumu itu, Ann. Mama masih banyak kerja, Nyo.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Saat Annelies dan Nyai Ontosoroh berdiskusi mengenai Minke.
“NYAI ONTOSOROH
Tak pernah Mama melihat, Ann, semurung ini?
ANNELIES
Apakah Mama suka pada Minke?” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan II)
- Saat terjadi pertengkaran annelies dan Robert Mellema.
“MUSIK CINTA ITU BERUBAH MENJADI KACAU DAN AMARAH. ROBERT DAN ANNELIES BERTENGKAR. TB MELLEMA TIDAK MEMPERDULIKANNYA. NYAI MEMANDANG DENGAN PERASAAN GERAM.” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
- Ketika Mauritz Mellema datang ke Boerderij Buintezorg.
“MAURITZ MELLEMA (Masuk tanpa permisi)
Mana Tuan Mellema!” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
- Saat Tuan Besar mellema dan Robert Mellema berkunjung ke tempat pelacuran Babah Ah Tjong.
“BABAH AH TJONG
Aya…Tuan Besal mau ada yang balu. Di sana Tuan tinggal pilih-pilih. Ada lima yang balu-balu oi datangkan dari negeri Tiongkok. Yang local juga ada, oi datangkan dari Blitar dan Dampit. Tuan Besal pasti senang. Tinggal pilih, tinggal pilih. Meleka masih gadis-gadis…Meleka juga pada pandai menali.
Mau pilih yang mana tuan? (Tuan Besar Mellema memilih orang yang berpakaian Jawa). Oi…oi…masih kulang puas juga dengan olang Jawa, Tuan. Tapi tidak apa, dia pandai sekali melawat tubuhnya, makanya kelihatan sintal, kayak Nyai, hemmm. Silahkan Tuan. Pelalis, pelalis…!(Tuan Besar Mellema out stage).
(Robert Mellema on stage). Oh..tabik Sinyo Lobet. Hali bagus, Nyo. Hali pelesil sekalang. Ayoh, Nyo, mampil. Ada yang baru. Tinggal pilih, tinggal pilih, Nyo!” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan II)
- Pertengkaran Minke dan Robert Mellema.
“ROBERT MELLEMA
Kau tidak tahu diri Minke! Kau tak akan pernah mendapatkan apa yang kau impikan. Tidak Minke. Kau seorang kafir! Engkau seorang pribumi yang tidak pantas mengawini Eropa.” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan III)
- Ketika Tuan Besar Mellema meninggal.
“DI RUMAH PELACURAN BABAH AH TJONG, TUAN MELLEMA SEDANG MABUK BERAT. DIA SEMPOYONGAN. TIBA-TIBA TERHUYUNG DAN JATUH KE LANTAI. PARA PELACUR BERHAMBURAN MENDEKAT. DARSAM MUNCUL TIBA-TIBA.” (Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
- Ketika diadakan persidangan mengenai kasus kematian Tuan Besar Mellema.
“MINKE
Tuan-tuan saya menyakal semua keputusan Tuan Hakim dan Tuan Jaksa. Saya suami Annelies. Saya mencintainya. Cinta setulusnya. Apakah perlu saya jelaskan kapan dan di mana kami kawin? Saya dan Annelies sudah menikah secara Islam, kami punya saksi.” (Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
- Kepergian Annelies menuju Belanda.
“Mama, masih ingatkah dengan cerita tentang kopor itu. Aku akan pergi dengan kopor yang membuat Mama bertekat menjadi seperti ini. Dengan kopor itu dulu Mama pergi dan bertekad tak akan kembali lagi. Kopor itu terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku tidak akan membawa apa-apa, kecuali kain batik dari Mama dan pakaian pengantinku. Semua akan menjadi kenangan, Mama. Aku pasti merindukan kalian semua…”(Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
– Waktu lampau
- Upacara menjadi dewasa. Ketika sanikem disucikan, bermandikan air bunga tujuh rupa.
“IBUNYA SANIKEM HANYA BISA TERSEDU. IA MENGGAYUNG AIR BERCAMPUR BUNGA TUJUH MACAM, DARI GENTHONG. SANIKEM DIAM TERPAKU KETIKA AIR BUNGA TUJUH MACAM MULAI MEMBASAHI TUBUHNYA.
SANIKEM
Sejak saat itu, nama Sanikem, sedikit-demi sedikit luntur oleh kemauan keras orang tuanya.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
- Ketika sanikem diberikan oleh Sastrotomo pada tuan Besar Mellema.
“SASTROTOMO
Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah sayaimpikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
– Waktu yang akan datang
- Sesampainya di Belanda, sampai kapan pun Annelies akan tetap mencintai Minke dan Nyai Ontosoroh, ibunya.
“…..Semua akan menjadi kenangan, Mama. Aku pasti merindukan kalian semua…”(Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
• Ruang :
– Ruang terlihat (teraktualisasikan)
- Dekat Pabrik gula Tulangan
“DEKAT PABRIK GULA TULANGAN” (Nyai Ontosoroh, Babak I)
- Rumah Nyai Ontosoroh, Boerderij Buitenzorg
“NYAI ONTOSOROH
Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus tamumu itu, Ann. Mama masih banyak kerja, Nyo.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Pabrik Boerderij Buitenzorg
“BEBERAPA PEKERJA PEREMPUAN MELINTAS. MEREKA MEMBAWA EMBER-EMBER SENG BERISI SUSU HASIL PERAHAN. SEMENTARA YANG LAKI-LAKI MEMANGGUL KARUNG KACANG TANAH DAN JUGA ADA YANG MENGGELEDEKNYA.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Ruang tamu rumah Nyai Ontosoroh, Boerderij Buitenzorg
“TUAN BESAR MELLEMA
Oh, silahkan duduk Mauritz. Kau sudah segagah ini?!” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
- Rumah pelacuran babah Ah Tjong
“SEDERET PELACUR SEDANG BERPASANG-PASANGAN DENGAN LELAKINYA. BEBERAPA CENTENG BERJALAN KESANA-KEMARI. SEORANG PEMABUK MELINTAS.” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan I)

– Ruang tak terlihat (yang mungkin diaktualisasikan)
• Ruang tak terlihat di balik panggung
- Percintaan Tuan Besar Mellema dan Sanikem
“… LIGHTING MEREMANG BIRU. TIRAI MENURUN PELAN-PELAN. PERCINTAAN DI BALIK TIRAI. DUA PENARI KARONSIH/TAYUB MENARI DENGAN LEMBUT. TETAPI ISAK TANGIS JELAS TERDENGAR DARI IBU SANIKEM. LIGHTING SEMAKIN TEMARAM. PENARI KARONSIH MENGHILANG DI BALIK TIRAI. DI SUDUT YANG LAIN, NYAI ONTOSOROH BERDIRI KOKOH.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Ruang dekat
- Surabaya
“SIANG HARI. SUASANA PESTA PORA PERAYAAN PENGANGKATAN SRI RATU WILHELMINA DI SURABAYA. BENDERA TRIWARNA (MERAH, PUTIH, BIRU) BERKIBAR DI MANA-MANA. TERPAMPANG FOTO BESAR SRI RATU WILHELMINA. SUARA MUSIK HINGAR BINGAR. ORANG-ORANG BERLARIAN MENGIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH BIRU.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Sekitar rumah Nyai Ontosoroh, Boerderij Buitenzorg
“SEKITAR RUMAH NYAI ONTOSOROH. MUSIK BERDENTANG. DI TEMPAT LAIN, MINKE SEDANG MELAMUN SENDIRIAN.” (Nyai Ontosoroh, Babak IV: Adegan III)
- Pengadilan
“MINKE
Tuan-tuan saya menyakal semua keputusan Tuan Hakim dan Tuan Jaksa. Saya suami Annelies. Saya mencintainya. Cinta setulusnya. Apakah perlu saya jelaskan kapan dan di mana kami kawin? Saya dan Annelies sudah menikah secara Islam, kami punya saksi.” (Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)

• Ruang jauh
- Gambaran negeri Belanda
“ANNELIES
Mas, tubuhku lemah tak berdaya. Tak berdaya, melawan sakit ini semua. Dikala sakit seperti ini aku terkenang dengan cerita-cerita yang Mas ceritakan tentang negeri Belanda menurut cerita Multatuli. Katamu, nun jauh di sana ada negeri di tepi laut utara. Tanahnya rendah, maka dinamai negeri Tanah Rendah, Nederland atau Holand. Mereka mengembara keseluruh pelosok bumi karena mereka bosan membuat tanggul-tanggul dan lebih mengagumi negeri yang jauh, bergunung-gunung, tanahnya subur, penuh laut dan pantai, kemudian menguasainya.”(Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)

D. Analisis Perlengkapan Lakon Nyai Ontosoroh
• Menurut Fungsinya :
• Sekadar melengkapi lakuan
- Karung-karung gula
“ORANG-ORANG SEDANG BEKERJA, HILIR MUDIK, MEMBAWA KARUNG-KARUNG (GULA) DAN JUGA BATANGAN TEBU DENGAN GELEDEKAN.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan I)
- Batangan tebu
“ORANG-ORANG SEDANG BEKERJA, HILIR MUDIK, MEMBAWA KARUNG-KARUNG (GULA) DAN JUGA BATANGAN TEBU DENGAN GELEDEKAN.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan I)
- Minuman dan buah-buahan
“..BEBERAPA PEMBANTU JALAN JONGKOK, MENYEDIAKAN MINUM DAN BUAH-BUAHAN..” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
- Ember-ember seng berisi susu hasil perahan
“BEBERAPA PEKERJA PEREMPUAN MELINTAS. MEREKA MEMBAWA EMBER-EMBER SENG BERISI SUSU HASIL PERAHAN. SEMENTARA YANG LAKI-LAKI MEMANGGUL KARUNG KACANG TANAH DAN JUGA ADA YANG MENGGELEDEKNYA.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Karung kacang tanah
“BEBERAPA PEKERJA PEREMPUAN MELINTAS. MEREKA MEMBAWA EMBER-EMBER SENG BERISI SUSU HASIL PERAHAN. SEMENTARA YANG LAKI-LAKI MEMANGGUL KARUNG KACANG TANAH DAN JUGA ADA YANG MENGGELEDEKNYA.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Kursi di ruang tamu rumah Nyai ontosoroh
“MAURITZ MELLEMA
Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, tuan Mellema! Ibuku, Mevrow Amelia Mellema-Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur.” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
- Jarit Sidomukti
“MAYAT ITU KEMUDIAN DITUTUP DENGAN JARIT SIDOMUKTI…”(Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
• Bersifat referensial
- Air bercampur bunga tujuh rupa
“IBUNYA SANIKEM HANYA BISA TERSEDU. IA MENGGAYUNG AIR BERCAMPUR BUNGA TUJUH MACAM, DARI GENTHONG. SANIKEM DIAM TERPAKU KETIKA AIR BUNGA TUJUH MACAM MULAI MEMBASAHI TUBUHNYA.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
- Tikar pandan
“… KEMUDIAN DIA TIDUR TERLENTANG DI ATAS TIKAR PANDAN. IBUNYA KEMUDIAN MELANGKAHINYA TIGA KALI.” (Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)


- Kopor pakaian yang kumal
“SASTROTOMO MENYERET SANIKEM. SANIKEM MERONTA. IBUNYA MEMBUNTUT DENGAN HATI YANG MERONTA. IA MEMBAWA SEKOPOR PAKAIAN ANAKNYA YANG KUMAL….”(Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
• Bersifat metaforis atau retoris
- Bendera tri warna (merah, putih, biru)
“SIANG HARI. SUASANA PESTA PORA PERAYAAN PENGANGKATAN SRI RATU WILHELMINA DI SURABAYA. BENDERA TRIWARNA (MERAH, PUTIH, BIRU) BERKIBAR DI MANA-MANA. TERPAMPANG FOTO BESAR SRI RATU WILHELMINA. SUARA MUSIK HINGAR BINGAR. ORANG-ORANG BERLARIAN MENGIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH BIRU.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
- Foto besar Sri Ratu Wilhelmina
“SIANG HARI. SUASANA PESTA PORA PERAYAAN PENGANGKATAN SRI RATU WILHELMINA DI SURABAYA. BENDERA TRIWARNA (MERAH, PUTIH, BIRU) BERKIBAR DI MANA-MANA. TERPAMPANG FOTO BESAR SRI RATU WILHELMINA. SUARA MUSIK HINGAR BINGAR. ORANG-ORANG BERLARIAN MENGIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH BIRU.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)

E. Analisis Bahasa Lakon Nyai Ontosoroh
Penggunaan bahasa para tokoh dalam Lakon Nyai Ontosoroh ini merupakan penggunaan bahasa dramatik, tunduk pada konvensi stilistika. Dialog dengan ragam bahasa yang sesuai dengan lingkungan sosial para tokohnya. Setiap dialognya bermakna. Penggunaan bahasa fatik, yang sesuai dengan situasi yang terjadi dalam cerita. Terdapat pula penggunaan bahasa ekspresif yang tergambar dengan baik.





F. Tinjauan terhadap Lakon Nyai Ontosoroh
a. Sinopsis
Nyai Ontosoroh adala seorang gundik dari Tuan Besar Mellema, dan menjadi ibu dari kedua anak mereka. Sebagai seorang nyai, kehidupan Nyai Ontosoroh dilanda banyak permasalahan. Anak sulungnya, Robert Mellema selalu berbuat sesuka hatinya. Begitu pula suaminya yang tidak dapat menerima berbagai permasalahan yang berat sehingga pelariannya terhadap minuman keras dan pelacuran. Anak kesayangannya, Annelies, yang baik dan menuruti perkataannya, ia nikahkan dengan seorang pribumi yang juga baik dan pintar bernama Minke. Annelies dan Minke sangat saling mencintai.
Puncak permasalahan dalam keluarga mereka terjadi ketika Tuan Besar Mellema meninggal. Di pengadilan, seluruh kekayaan dan kedua anak Nyai Onotosoroh tidak diakui sebagai miliknya, semua itu hanya diakui sebagai milik Tuan Besar Mellema. Seluruh kekayaan akan diberikan pada ahli warisnya saja. Karena Annelies dan Robert Mellema masih di bawah umur, untuk sementara kekayaan mereka diambil alih oleh Mauritz Mellema, anak Tuan Besar Mellema dan istri syahnya di Belanda. Annelies diharuskan untuk tinggal di Belanda bersama keluarganya dan meninggalkan suami serta ibu kandungnya.
b. Analisis Feminisme Lakon Nyai Ontosoroh
Nyai Ontosoroh adalah seorang gudik dari seorang Belanda bernama Tuan Besar Mellema, dan memiliki dua orang anak hasil dari perkawinannya tersebut. Pada awalnya ia bernama Sanikem, setelah dijual oleh ayahnya kepada Tuan besar Mellema, namanya berubah menjadi Nyai Ontosoroh. Sebelumnya Sanikem hanya menjadi perempuan yang menurut saja pada keinginan orang tuanya, Sanikem tidak dapat berbuat banyak demi dirinya sendiri. Ia dengan terpaksa menjadi nyai dari seorang Belanda. Kebebasan dan haknya telah terenggut oleh keinginan ayahnya yang hanya memikirkan kepentingannya saja tanpa memikirkan kebahagiaan putrinya tersebut.
Sebagai seorang nyai, Nyai Ontosoroh menjalani hidupnya dengan sangat sulit. Masyarakat menganggap seorang nyai sebagi orang yang rendah, yang menjual dirinya demi kekayaan Tuannya. Namun, Nyai Ontosoroh bukan wanita serendah itu, ia bercita-cita untuk dengan ber¬bagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir dan batin, yang menggambarkan gerakan feminis. Nyai Ontosoroh tidak membiarkan dirinya bergantung pada suaminya, melainkan berusaha mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Hingga akhirnya Nyai Ontosoroh berhasil mengangkat kedu¬dukan dan harkatnya menjadi setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, bahkan di dalam rumah Nyai Ontosoroh menjadi seorang pemimpin yang menjaga rumah tangganya, baik mengurus kekayaan dan perusahaan yang dimilikinya maupun mengurus anak dan suaminya dengan baik sehingga mengubah pandangan masyarakat tentang dirinya.
“NYAI ONTOSOROH
Kini, Sanikem telah lenyap. Hilang untuk selama-lamanya. Sekarang, saya adalah Nyai Boerderij Buiternzorg. Orang-orang memanggil saya Nyai Ontosoroh. Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah mersa bosan, untuk dicampakan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah, bisa badan diusir dengan semu anak-anaknya sendiri. Atau bahkan dengan tangan kosong. Ya, mereka telah membikin saya jadi Nyai begini. Maka saya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik-baiknya…”(Nyai Ontosoroh, Babak I: Adegan III)
“Sampai sejauh ini orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang yang sekali-kali saja atau sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya : Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama On-to-so-roh, sebutan orang Jawa yang lidahnya suka kesleo. (tersenyum)” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
Nyai Ontosoroh merupakan seorang wanita yang haus akan pendidikan atau pengetahuan, yang rajin bekerja untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat se¬bagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami. Nyai Ontosoroh merupakan wanita yang gemar dan pandai mengurus rumah tangga dan perusahaanya.
“Sampai sejauh ini orang hanya mengenal nama Tuan Mellema. Orang yang sekali-kali saja atau sama sekali tak pernah melihatnya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya : Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama On-to-so-roh, sebutan orang Jawa yang lidahnya suka kesleo. (tersenyum)” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
Sebagai seorang pemimpin baik dalam rumah tangga maupun perusahaan, Nyai Ontosoroh telah berusaha sebaik-baiknya. Hanya saja Nyai Ontosoroh tahu, dalam hukum pemerintahan Belanda, dirinya dianggap bukan siapa-siapa. Kekayaan yang selama ini berhasil diraihnya bahkan kedua anaknya tidaklah syah menjadi miliknya. Kekayaan akan sepetuhnya menjadi milik suaminya, Tuan Besar Mellema, dan kedua anaknya hanya akan diakui sebagai anak Tuan Besar Mellema saja. Nyai Ontosoroh membenci hal-hal yang berbau Belanda, baik pemerintahannya maupun orang-orangnya. Baginya, Belanda adalah sesuatu yang menghancurkan setiap pribumi, penjajah yang tak berperikemanusiaan. Belanda tidak pernah adil pada pribumi, Belanda hanya mementingkan kepentingan kaumnya saja, bagaimana pun caranya. Hal yang terpenting bagi Nyai Ontosoroh adalah kepentingan dan kebahagiaan anaknya, ia rela melakukan apa pun supaya anaknya bahagia, tidak tersiksa seperti dirinya yang menjadi seorang gudik.
“NYAI ONTOSOROH
…Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti saya dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini : Tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat yang tiba-tiba datang membawa kebahagiaan.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan II)
“NYAI ONTOSOROH
Tuan-tuan yang terhormat. Antara saya dan TB Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum Eropa. Antara anaku dengan Tuan Minke ada cinta mencintai yang sama-sama tulus, bahkan mereka sudah diikat dalam perkawinan yang syah. Sekali lagi tuan, orang Eropa dapat membeli perempuan pribumi seperti diri saya ini, tetapi tak seorangpun memprotesnya. Apakah pembelian ini lebih benar dari pada percintaan yang tulus dari kedua insan ini? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan dan kekuasaannya, mengapa kalau pribumi jadi ejekan, justru karena cinta yang tulus?” (Nyai Ontosoroh, Babak V: Adegan I)
Suami dari Nyai Ontosoroh, Tuan Besar Mellema. Pada awalnya adalah seorang lelaki yang kuat, tegas, dan berwibawa. Menghargai Nyai Ontosoroh yang menjadi gundiknya. Namun, Tuan Besar Mellema ternyata tidak dapat menerima permasalah yang sangat berat, dirinya menjadi lemah dan rapuh, pelariannya adalah terhadap minuman keras dan pelacuran. Tuan Besar Mellema hanya bersenang-senang, mengabaikan perusahaan dan keluarganya. Dirinya menjadi seorang lelaki yang tidak berguna baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri sehingga segala tugasnya digantikan oleh Nyai Ontosoroh termasuk untuk menjadi pemimpin rumah tangga.
”NYAI ONTOSOROH
Dulu saya memang Nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Lebih menyukai bersarang di rumah plesiran (pelacuran). Papapmu, orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah Papamu, Ann.
Kalau saya tidak keras begini, Nyo…maafkan saya harus membela diri sehina ini, akan jadi apa semua ini? Anak-anaknya, perusahaannya, semua sudah akan menjadi gembel. Jadi saya tak menyesal sudah bertindak begini di hadapanmu, Nyo. Jangan angap saya biadab. Semua untuk kebaikan dia sendiri. Dia telah saya berlakukan sebagaimana dia kehendaki. Itu yang dia kehendaki, begini, Minke. Orang-orang Eropa sendiri tidak disekolahkan di dalam kehidupan ini.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan I)
Anak sulung Nyai Ontosoroh, Robert Mellema, membenci ibunya sendiri karena ibunya adalah seorang pribumi. Robert Mellema membenci segala hal yang berbau pribumi padahal dalam dirinya terdapat darah pribumi. Robert Mellema selalu melawan ibunya, tidak pernah mau mendengarkan perkataan ibunya. Nyai Ontosoroh hanya bisa mengingatkan dan bersabar karena Robert Mellema memang tidak bisa diatur.
“ROBERT MELLEMA (Berteriak keras)
Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak perduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa. Aku bukan pribumi.

NYAI ONTOSOROH
Robert, masihkan sedikit punya kesopanan terhadap Ibumu? Buatmu, tidak ada yang lebih agung dari pada menjadi Eropa? Dan kau menginginkan semua pribumi untuk tunduk padamu yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Pergi sana. Jadilah orang Eropa yang kau agungkan.” (Nyai Ontosoroh, Babak III: Adegan I)
Annelies, anak bungsu Nyai Ontosoroh sangat menuruti dan menyayangi ibunya. Annelies bekerja membantu ibunya untuk memeriksa pekerjaan para buruh di perusahaan. Annelies memiliki hati sangat lembut dan diri yang lemah, ia mudah sakit bila sedang memiliki masalah. Nyai Ontosoroh sangat menyayangi Annelies dan menginginkan Annelies mendapatkan kebahagiaannya.
“NYAI ONTOSOROH
Biarpun pendek dan sedikit, setiap orang pernah, Ann. Ada banyak tahun setelah saya ikut TB Mellema, Ayahmu. Yang sekarang ini saya tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang saya kuatirkan. Saya ingin lihat kau berbahagia. Saya didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak harus tergantung pada suami.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan II)
Minke merupakan seorang pribumi yang tidak sengaja masuk ke dalam kehidupan keluarga Nyai Ontosoroh. Minke dan Annelies saling jatuh cinta. Nyai Ontosoroh sangat mendukung hubungan mereka demi kebahagiaan Annelies, hanya Tuan Besar Mellema dan Robert Mellema yang tidak menyetujui hubungan mereka karena Minke seorang pribumi. Mereka akhirnya bisa menikah dan hidup bersama dengan izin dari Nyai Ontosoroh.
“ANNELIES
Apakah Mama suka pada Minke?
NYAI ONTOSOROH
Tentu Ann, dia anak yang baik. Bagaimana mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka? Orang tua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita siapa takkan bangga jadi istrinya nanti? Istri syah? Mamapun bangga punya menantu dia. Karena itu kau tak perlu kuatirkan sesuatu.” (Nyai Ontosoroh, Babak II: Adegan II)
Lakon Nyai Ontosoroh ini diadaptasi oleh R. Giryadi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya menampilkan sosok Nyai Ontosoroh sebagai tokoh wanita yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Yang kental terasa dalam cerita ini adalah posisi wanita pribumi di mata pemerintahan Belanda. Pramoedya mengangkat tema wanita pribumi yang dijadikan gundik oleh seorang Belanda yang memang sering terjadi di masa penjajahan. Sosok Nyai yang digambarkan berbeda dengan pandangan masyarakat pada umumnya yang menganggap seorang Nyai hanyalah wanita yang hanya bisa memuaskan Tuannya saja, hanya memanfaatkan keindahan tubuhnya demi kehidupan yang lebih baik. Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang Nyai yang berpendidikan dan memiliki sikap yang biasa dimiliki oleh kaum feminis, yang mandiri dan tidak ingin dijajah, menjadi seorang wanita yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya.
Karya ini sendiri ditulis oleh Pramoedya di Pulau Buru, ketika dirinya di penjara di tempat pembuangan biadab yang dibentuk bangsanya sendiri selama 10 tahun (1969-1979) yang dibalasnya dengan cara yang sangat beradab: menerbitkan sejumlah karya berkelas "sastra Nobel". Ketika ia harus makan bangkai tikus, cecak dan daging kuda yang terserang antrax, lamunannya justru melayang jauh ke jaman-jaman kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang disembunyikan rapat-rapat oleh penguasa. Kemudian kepingan dan serpihan yang ada disusun kembali dalam bayangan manusia Pramoedya beserta sejumlah pengalaman sejarah yang membentuk wataknya. Pramoedya merupakan seorang humanis tulen, sebagaimana sosok Multatuli yang sangat dikagumi Pramoedya. Maka pantas saja terasa sekali mengenai gambaran pemerintahan Belanda pada saat itu dalam karyanya ini.










BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Lakon Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi yang mengadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan kehidupan seorang wanita yang menjadi gundik dari seorang tuan besar. Nyai Ontosoroh merupakan sosok wanita yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Lakon Nyai Ontosoroh menggambarkan perjuangan seorang nyai dalam mempertahankan kekayaan dan anaknya yang tidak diakui oleh pemerintahan Belanda. Nyai Ontosoroh merupakan simbol dari gerakan feminisme, wanita yang berjuang demi mendapatkan hak dan kemerdekaannya, yang berjuang dengan sebaik-baiknya.





















DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina.
Fakih, Mansour. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti, Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna , Nyoman Kutha. 2009. Teori,Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.