Rabu, 12 Januari 2011

Analisis Novel Ziarah karya Iwan Simatupang

1.1 Apresiasi Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang
1.1.1 Profil Iwan Simatupang
Iwan Simatupang dilahirkan di Siboga 18 Januari 1928, meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970. Nama lengkapnya Iwan Martua Lokot Dongan Simatupang. Mendapat pendidikan HBS di Medan, sekolah dokter di Surabaya (tidak selesai), lalu belajar antropologi dan filsafat di Rijk-Universiteit Leiden, dan Paris. Dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Sebagai penulis, ia sudah memulainya pada tahun 1952 di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia. Terkenal karena 2 novelnya Merahnya Merah(1986) dan Ziarah(1970). Ia juga menulis drama, antara lain Cactus dan Kemerdekaan dan Petang di Taman. Dua novelnya yang lain Kering (1972) dan Koong (1975), terbit setelah ia meninggal. Merahnya Merah mendapat Hadiah Nasional 1970, dan Ziarah dalam terjemahan bahasa Inggris mendapaty hadiah roman ASEAN terbaik 1977. (Bahan: Ensiklopedi Indonesia).
1.1.2 Ikhtisar
Di sebuah negeri yang bernama Kotapraja, terdapat seorang pelukis terkenal di seluruh negeri yang dibuat terkapar tidak berdaya alias shock dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai, istri yang dia kawini dalam perkawinan secara tiba-tiba. Suatu ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dia bingung. Karena kebingungannya ini sang Pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Dan tanpa diduga pula sang pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan si gadis diatas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.
Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, Pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena Pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang syah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang Pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan Walikota akhirnya mayat Istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian Pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.
Setelah itu hidup Pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya ditikungan entah tikungan mana dan malam harinya dituangkan arak keperutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras.
Hingga akhirnya datang Opseter pekuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan Opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan Opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena Opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari Pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata Pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi Pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, Opseter ingin Pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya Opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan Opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, Pelukis bertemu Maha guru dari Opseter yang kemudian menceritakan riwayat Opseter.
Pada akhirnya Pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.
1.1.3 Alur
Alur dalam novel ini sedikit membingungkan pembaca, karena pengarang menggunakan alur “Flash Back”.
Diawal cerita, diceritakan sang pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi dibagian belakang malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan Pelukis dengan Istri, kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya mati. Bukan hanya Pelukis dan Istri saja tetapi pengarang juga mengajak pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan Opseter sebelum menjadi opseter.
1. Traumanya seorang pelukis terkenal di sebuah negara bernama Kotapraja karena kematian istrinya.
2. Kehidupan pelukis semakin tak tentu arah.
3. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana.
4. Malam harinya dituangkan arak keperutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras untuk pada akhirnya tertawa keras-keras.
5. Bertemunya Pelukis dengan Opseter perkuburan kotapraja.
6. Dimintanya Pelukis mengapur tembok perkuburan Kotapraja oleh sang Opseter.
7. Diterimanya permintaan Opseter oleh Pelukis.
8. Bekerjanya Pelukis mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya
9. Mengintipnya Opseter perkuburan dari rumah dinasnya ketika Pelukis bekerja.
10. Pekerjaan baru pelukis ini membawa perubahan tingkah laku Pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger.
11. Kedatangan Walikota ke perkuburan Kotapraja untuk memberhentikan Opseter.
12. Meninggalnya Walikota karena kata-kata Opseter tentang proporsi.
13. Bergegasnya Pelukis pulang sebelum bekerja 5 jam berturut-turut.
14. Terjadinya percakapan yang berat antara Opseter dan Pelukis.
15. Ditemukannya Opseter meninggal karena gantung diri.
16. Penguburan Opseter berlangsung cepat.
17. Bertemunya Pelukis dengan Maha guru dari Opseter.
18. Diceritakannya riwayat Opseter kepada Pelukis.
19. Perginya Pelukis ke balai kota untuk melamar menjadi Opseter Pekuburan.
1.1.4 Tokoh/Pelaku
 Pelukis : Pelukis adalah tokoh kehidupan, manusia bebas, manusia yang selalu mencari rasa dari alam semesta.
 Opseter : Opseter perkuburan terlanjur memunculkan citra tokoh kematian, tragis, filsafat atau ‘kursus dari mati’, rasionalisasi, dan segala yang berkarakter kompleks dan rumit. la tergolong ‘orang yang lebih banyak termenung dari pada hidup’
 Istri Pelukis : Seorang istri yang baik, yang mau menerima suaminya, dengan apa adanya.
 Maha guru : Seorang kakek bertubuh kurus yang ternyata seorang maha guru Opseter.
 Ayah Opseter : Seorang ayah sekaligus hartawan terkaya di seluruh negeri yang sangat sayang dan peduli kepada anaknya dan ingin anaknya mewarisi semua harta kekayaannya.
 Walikota : Tokoh yang pendendam dan tidak menyukai warga kotanya, ia menjadi walikota karena ingin menuntaskan manusia-manusi kerdil dekil, yang selama ini tak sedikit pun mendapat penghargaan.
 Wakil Walikota : Seorang wakil walikota yang selalu ngin memperoleh pujian dan ingin naik jabatan, ia tidak dapat mengucapkan kata yang terdiri dari dua konsonan sekaligus.
 Orang Buta professional : Seorang biasa yang berpura-pura buta karena ingin menjadi orang buta profesional.
 Kepala Negara : Seorang pemimpin yang bijaksana dan berwawasan filsafat.
 Perdana Menteri : Tidak suka terhadap segala sesuatu yang berbau filsafat, dan ingin naik jabatan.
 Nona-nona tua : Perawan-perawan gaek yang selalu ingin mengecap kenikmatan dunia, memiliki sikap yang hormat dan sopan sekali. Mereka senang sekali memandang orang lain dengan tatapan yang tajam.
 Brigadier polisi : Bersifat baik hati dan pengertian, tidak mengambil keputusan semata-mata karena hukum dan Undang-undang, melainkan memikirkan sisi kemanusiaannya.
 Kepala dinas pekerjaan umum : Tokoh yang hanya melakukan tugas yang sudah seharusnya ia lakukan karena tidak ingin dipecat.
 Centeng perkuburan : Tokoh yang bertugas berkeliling dan menjaga pekuburan Kotapraja di malam hari.
 Mandor dan pegawai pekuburan : Tokoh-tokoh yang anya melakukan tugas yang sudah seharusnya mereka lakukan, dengan harapan mendapatkan gaji dan juga tambahan dari para kerabat mayat yang mereka kubur.
1.1.5 Latar
Latar Fisik/Tempat
 Di tikungan
”….di salah satu tikungan…."(Simatupang, 2001:1)
 Rumah kecil
”…ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil…."(Simatupang, 2001:1)
 Di kaki lima
”…langkah-langkahnya di kaki lima itu,…"(Simatupang, 2001:6)
 Di kedai arak
”…dia lari sekencang-kencangnya ke kedai arak… (Simatupang, 2001:2)
 Di perkuburan
”..suasana pekuburan di tengah hari…(Simatupang, 2001:10)
 Di rumah dinas Opseter
” ..dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di pekuburan itu…(Simatupang, 2001:11)
 Kantor Dinas Walikota
”..sidang darurat badan pekerja harian…(Simatupang, 2001:12)
 Di alun-alun kota
"orang-orang di alun-alun ikut berteriak"(Simatupang, 2001:19)
 Di Istana Negara
"…kabinet kepada parlemen…"(Simatupang, 2001:35)
 Di lintasan lari
”…bertulisan besar-besar: FINISH.. (Simatupang, 2001:55)
 Di hotel
”..kamarnya di tingkat empat hotel itu.(Simatupang, 2001:73)
 Di aspal jalan raya
”..yang sedang asyik diatas aspal panas itu. (Simatupang, 2001:73)
 Di kantor catatan sipil
”..pidato singkat penjabat catatan sipil…(Simatupang, 2001:74)
 Di gubuk tepi pantai
”..ke gubuk yang masih utuh di pantai. (Simatupang, 2001:89)
 Perusahaan Penguburan Swasta
"…adalah salah satu perusahaan penguburan swasta. (Simatupang, 2001:105)
 Tembok luar perkuburan
”Dia melompat turun dari tembok. (Simatupang, 2001:126)
 Balai kota
"Ke balai kota. (Simatupang, 2001:140)
Waktu
 Pagi hari
”… di satu pagi cerah…(Simatupang, 2001:7)
 Tengah hari
"Persis tengah hari, mereka berpisahan. (Simatupang, 2001:10)
 Sore hari/senja
”Menjelang benamnya matahari,dia…(Simatupang, 2001:11)
 Malam hari
"…begitu malam jatuh, perutnya…(Simatupang, 2001:1)
Suasana
 Gembira
”..menggegar suatu tawa gempita.. (Simatupang, 2001:15)
 Sunyi
”Sunyi senyap di pekuburan itu." (Simatupang, 2001:133)
 Takut
”..bukan sorak sorai! tapi teriakan-teriakan takut…(Simatupang, 2001:55)
 Ramai
”..ke tengah orang ramai itu…(Simatupang, 2001:55)
 Panik
”Hadirin geger." (Simatupang, 2001:55)
 Kacau
"Banyak pegawai dan buruh itu lari lintang pukang" (Simatupang, 2001:52)
 Gelisah
"Dia mulai gelisah" (Simatupang, 2001:89)
 Hening
”Sesudah itu hening, sehening-heningnya"(Simatupang, 2001:3)
 Sedih
"Dia tersedu-sedu…"(Simatupang, 2001:122)
1.1.6 Tema
Memberitahukan tentang kehidupan dan realitas dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi sebuah peristiwa kematian.
Sesungguhnya manusia dapat menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri.
Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir hidup, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani, sebagaimana kelahirannya sendiri.
1.1.7 Tipe
Novel Ziarah karya Iwan Simatupang ini merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan ataupun konotasi,dan majas-majas terutama majas personifikasi serta terdapat juga istilah-istilah berbau filsafat yang diolah menjadi kesatuan kalimat yang benar-benar membawa pembaca ke arah pemikiran-pemikiran logis dan membenamkan pembaca dalam novel yang memiliki keindahan ilmu filsafat dari pengarang sendiri.
1.1.8 Nilai
 Sastra karena penuh dengan ungkapan dan majas-majas.
Ungkapan-ungkapan ataupun konotasi:
o Pada kedua matanya yang redup, zenith bertemu nadir. (Simatupang, 2001:26)
o Hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal panas itu. (Simatupang, 2001:73)
o Yang mulia ini bersama staf ahli-ahlinya juga cuma dapat garuk garuk kepala saja.( Simatupang, 2001:35)
o Fraksi-fraksi pro dan kontra sama-sama tarik urat lehernya. (Simatupang, 2001:35)
o ..seolah udara kutub menghembus masuk ke dalam tubuhnya melalui rongga mulutnya.( Simatupang, 2001:46)
Majas Personifikasi
o Rasa riang mendaki dalam dirinya.( Simatupang, 2001:2)
o Dia, Opseter berpikiran setan…( Simatupang, 2001:9)
o …praktek-praktek menjilat atasannya…( Simatupang, 2001:20)
o …mereke terbang ke pintu gerbang.( Simatupang, 2001:28)
Majas Hiperbola
o Tuan adalah nabi seni lukis masa datang. (Simatupang, 2001:69)
 Filsafat karena terdapat beberapa istilah filsafat di dalamnya.
o …kebenaran dari jenis subtil, yakni: yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Ya! nuanslah yang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap Negara.Dan kini, demi nuans itu, dia harus membangkang. (Simatupang, 2001:17)
o Yes, truly; for, look you, the sins of the father are to be laid upon the children; therefore, I promise ye, I fear you. I was always plain with you, and so now I speak my agitation of the matter; therefore be of good cheer, for truly I think you are damn’d. The is but one hope in it that can do you any good; and that is but a kind of bastard hope neither. (Simatupang, 2001:38)
1.1.9 Fungsi
 Fungsi Rekreatif
Membawa pembaca ke dalam kehidupan tokoh-tokohnya yang bersifat sangat individualistis. Pembaca menjadi tahu bagaimana rasanya menjadi tokoh-tokoh tersebut dan yang masing-masing memiliki keistimewaannya sendiri.
 Fungsi Informasi
Manusia yang berhasil dalam kehidupan adalah manusia yang mampu bertransendensi, yang mampu mengatasi badan bukan sebagai tolak ukur tujuan hidupnya, tetapi ‘demi kelengkapan dan kesempurnaan’ hidup itulah eksistensi manusia terbentuk. Jadi, kematian pada dasarnya merupakan kesempurnaan eksistensi sebagai manusia.
 Fungsi Penyadaran
Kesadaran manusia tentang kematian masih berupa kecemasan dan ketakutan, dengan novel ini pembaca diberikan penyadaran bahwa sesungguhnya kesadaran akan kematian membuat umat manusia dan individu-individu menjadi matang secara spiritual (spiritual-maturity). Sehingga mereka dapat lebih mengenal dan menghargai hidup.
1.1.10 Pengalaman
 Pengalaman Literal Estetis
Bahasa dalam novel ini sangat penuh dengan ungkapan-ungkapan dan majas-majas sehingga menimbulkan keindahan bahasa. Selain itu, banyak pula terdapat istilah-istilah filsafat di dalamnya sehingga semakin menambah kememikatan terhadap novel Ziarah ini.
1.1.11 Kesimpulan Akhir
Ceritanya sangat menarik, sentuhan filsafat pengarang benar-benar tersaji dalam novel ini. Tak kurang dalam setiap bagian novel terdapat kalimat-kalimat yang merupakan ilmu filsafat. Contoh kalimat itu seperti “Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan system filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah dan dalih balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini-juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang…( Simatupang, 2001:20)”
Gaya humor pengarang juga samar-samar, pembaca harus benar-benar mengerti maksud pengarang dulu sebelum dibuat tertawa membayangkan bahwa itu sangat lucu. Ada beberapa bagian dalam novel yang bisa dikatakan sebagai penunjuk bahwa pengarang memiliki daya humor yang cukup tinggi. Seperti saat ketika opseter dan walikota saling melihat bola mata. Dan saling terkejut dan saling berteriak. Tentu saja mengundang tawa bagi pelukis yang menyaksikannya (Simatupang, 2001:14-15). Juga saat menceritakan kisah ketenaran pelukis, yang justru membuat dia hampir bunuh diri sebelum akhirnya mengawini seorang gadis ( Simatupang, 2001:68-74).
Dalam menghadirkan sebuah masalah, pengarang tidak sungkan untuk mendramatisir, selain itu endingnya juga sangat mengaggumkan. Karena dengan penambahan cerita yang didramatisir itu justru semakin membuat semangat pembaca.
1.2 Apresiasi Cerpen Abracadabra Karya Danarto
1.1.1 Profil
Muncul secara Fenomenal, Danarto (Sragen, Jawa Tengah. 27 Juni 1940) mengejutkan publik sastra dengan cerpen-cerpen yang sangat berbeda dari pola-pola cerpen Idrus, Asrul Sani, Budi Darma, atau Nh. Dini. Danarto menerabas pola baku penulisan cerpen yang sudah dikenal baik, baik mengenai tokoh, setting, peristiwa maupun logika cerita. Atmosfer cerita-cerita Danarto berada pada posisi diantara dunia nyata dan dunia tidak nyata, antara yang abstrak dan yang konkret, antara realitas dan khayal. Ia membebaskan diri dari konvensi dan memasuki sebuah pola inkonvensional yang mencirikan sastra sufistik yang ditulis secara improvisasi.
Ia pernah kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (1958-1961) pernah mengajar di LPKJ sejak (1973-), aktif di Sanggar Bambu sejak (1959-), redaktur majalah Zaman (1979-1985). Tahun 1976 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA.
Ia pernah mendapat beberapa penghargaan, diantaranya, kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat mendapat hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1982) dan hadiah Yayasan Buku Utrama Departemen P dan K (1982), dan Berhala meraih Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K (1987), tahun 1988 ia memenangkan hadiah Sastra ASEAN.
1.1.2 Ikhtisar
Pada awal diceritakan bahwa kedua tokoh yaitu Hamlet dan Horatio sedang berbincang-bincang sambil melihat-lihat sesuatu di sebuah bazar di sebuah negeri yang bernama Tawangmangu. Mereka membincangkan perihal kasta; dimana Hamlet memerintahkan agar kasta dihapuskan di negaranya agartidak ada lagi ketimpangan berbahasa antara yang derajatnya tinggi dan yang derajatnya rendah; dan juga membicarakan kematian Hamlet yang tidak lama lagi akan ditempuhnya.
Mereka berdua membicarakan tentang kematian apa yang akan terjadi setelah kematian dan bagaimana kematian itu akan menjemput mereka. Akan tetapi disini mereka membicarakan Hamlet yang taklama akan meninggal.
Setelah berbincang, maka Hamlet pun berpamitan. Bukan berpamitan untuk pulang tapi untuk meninggal dunia. Disini rupanya Hamlet memiliki segudang pertanyaan tentang kematiannya itu, sampai-sampai dia berulang kali tidak jadi mati dan ketika akan berpamitan dia terus menerus mencerca Horati dengan permintaan dan pertanyaan.
Setelah Hamlet meninggal muncullah seseorang yang entah siapa menurut Hamlet mendatangi dia di rumahnya sendiri yang padahal sekarang dia sudah berada di alam roh. Mereka pun sama berbincang mengenai kematiannya dan bagaimana rasanya Mati. Setelah dicari tahu ternyata sosok tadi adalah si pengarang atau narator ceritanya.
Lalu Hamlet menceritakan pengalamannya berpetualang di dunia akhirat atau roh. Setelah sekian lama dia bercerita mengenaipengalamannya rupanya roh Hamlet menghilang. Dan Narator atau pengarang berusaha mencari-cari dia.
Akhirnya Hamlet muncul tapi disebuah tempat yang aneh dan tidak diketahuinya. Tempat itu adalah sebuah lambung perut dan dimana lambung itu bisa berubah-ubah warnanya. Setelah Hamlet sadar dilihatnya ada empat sosok orang. Dan ternyata mereka pun Hamlet hamlet sama dengan dia. Hamlet itu ada yang dinamakan Hamlet Kekekalan, kebaikan, kejahatan, dan Hamlet Manasuka.
Hamlet-hamlet yang lain mencoba membujuknya agar mengikuti salah satu dari mereka. Tapi Hamlet tidak mau. Hamlet terus saja berontak dan berusaha lepas dari mereka. Hamlet berusaha meminta pertolongan dan terus memanggil dan menriakkan Horatio agar menolongnya.
Tiba-tiba Hamlet menghilang dan keempat Hamlet yang lain kebingungan mencarai dimana dia. Dan ternyata akhirnya terlihat sadarkan diri di rumahsakit ditemani Horatio yang sejak tadi menunggunya cemas. Hamlet marah kepada Horatio yang telah membuatnya seperti itu, mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan dan malah menghidupkan dia kembali. Padahal Hamlet sudah bahagia bisa mati. Dan ternyata Hamlet mengalami halusinasi dan mati suri. Dan Horatio lah penyebabnya. Abracadabra!!!!
1.1.3 Alur
1. Hamlet dan Horatio sedang berbincang-bincang sambil melihat-lihat sesuatu di sebuah bazar di sebuah negeri yang bernama Tawangmangu.
2. Diperbincangkannya Hamlet yang tak lama akan meninggal.
3. Berpamitannya Hamlet untuk meninggal dunia pada Horatio.
4. Munculnya seseorang yang entah siapa menurut Hamlet mendatangi dia di rumahnya sendiri padahal dia sudah berada di alam roh.
5. Ternyata sosok tersebut adalah si pengarang atau narator ceritanya.
6. Perbincangan mereka pun mengenai kematian dan bagaimana rasanya mati.
7. Lalu Hamlet menceritakan pengalamannya berpetualang di dunia akhirat atau roh.
8. Menghilangnya Hamlet dari hadapan Narator.
9. Akhirnya Hamlet muncul tapi disebuah tempat yang aneh dan tidak diketahuinya.
10. Tempat itu adalah sebuah lambung perut dan dimana lambung itu bisa berubah-ubah warnanya.
11. Dilihatnya ada empat sosok orang yang sama dengan Hamlet.
12. Hamlet itu ada yang dinamakan Hamlet Kekekalan, kebaikan, kejahatan, dan Hamlet Manasuka.
13. Hamlet-hamlet yang lain mencoba membujuknya agar mengikuti salah satu dari mereka.
14. Hamlet terus saja berontak dan berusaha lepas dari mereka.
15. Tiba-tiba Hamlet menghilang dan keempat Hamlet yang lain kebingungan mencarai dimana dia.
16. Akhirnya hamlet terlihat sadarkan diri di Rumah Sakit ditemani Horatio yang sejak tadi menunggunya cemas.
1.1.4 Tokoh/Pelaku
 Hamlet : Ditokohkan seorang pangeran yang bijaksana, arif, tapi kurang pandai dan sedikit agak polos.
 Horatio : Ditokohkan seorang asisten atau pembantu raja yang patuh dan hormat, pandai, serta setia dan mengasihani.
 Narator atau Pengarang : Ditokohkan seseorang yang gaib namun memiliki wujud ketika di alam roh, serba tahu dan aneh.
1.1.5 Latar
Latar Fisik/Tempat
 Sebuah bazar di Tawangmangu dengan keadaan Ramai dekat dengan patung air.
“Di Bazar Teheran orang berdatangan menikmati permadani.....”
“mereka duduk di bawah patung air.....”
 Alam Roh atau Baka
“Demikianlah, akan tetapi yang menulis karangan ini akan melanjutkan cerita mengenai Hamlet di Alam Baka
 Rumah Sakit
“...Hamlet meronta-ronta di tempat tidur rumah sakit....”
Waktu
 Siang Hari
 Kehidupan setelah mati
 Zaman kerajaan dahulu kala.
Sosial
 Kehidupan masyarkat kerajaan yang memiliki kasta-kasta yang sepertinya menggunakan adat Jawa, di tengah kaum miskin dan gelandangan yang penuh dengan kemiskinan.
“...saya perintahkan kasta-kasta untuk dihapuskan” seru Hamlet.
1.1.6 Tema
Mengetahui bagaimana gambaran kehidupan nanti walaupun hanya fiksi belaka. Mendapat pelajaran tentang kehidupan dan derajat manusia.
Merenungi kehidupan kita di dunia ini serta meyakinkan bahwa semua orang sama di dunia ini.
Menyadarkan manusia bagaimana kehidupan ini seharusnya berlangsung. Baik dari segi sosial dan religius.
1.1.7 Tipe
Tipe cerpen ini merupakan cerpen sastra. Bahasa dalam cerpen ini mudah dimengerti namun ceritanya absurd. Nilai sastra yang terkandung dalam cerpen ini begitu kental. Keseluruhan teks cerpen ini sangat menarik dan sangat terasa kesastraannya.
1.1.8 Nilai
 Sastra
Nilai sastra yang terkandung dalam cerpen ini begitu kental. Apalagi kita bersama mengetahui Danarto merupakan sastrawan yang sangat kental dengan suasan mistik dan sufistik. Atmosfer ceritanya berada posisi antara dunia nyata dan dunia tidak nyata, antara yang abstrak dan yang konkret, antara realitas dan khayal. Danartopun menganut paham sufistik religius maka itu Danarto memasukan itu dalam cerpennya ini. Dia pun kental dengan unsur daerahnya yaitu jawa.
Bahasanya enak sekali untuk diikuti. Akan tetapi memang agak susah untuk meruntutnya satu persatu karena dia menganut paham absurdisme dalam sastranya sehingga membutuhkan pembacaan dan pemahaman yang lebih untuk dapat mencerna cerpennya.
 Kesopanan
Bahasa dalam cerpennya kali ini cenderung sopan karena menggunakan banyak kata saudara yang berarti menghormati yang diajak bicara. Karena diapun seorang religius maka itu tidak lepas dalam karyanya kali ini.
1.1.9 Fungsi
 Fungsi Penyadaran
1. Orangtua harus berkata-kata halus kepada anak-anaknya.
2. Sebagai seorang sahabat kita harus sesalu ada di sisi teman dalam keadaan apapun
3. Keadilan itu jauh lebih penting dari pada kasta
 Fungsi rekreatif
1. Penulis menyajikan sesuatu hal yang berbeda dalam penyajian tulisannya yang memberikan kesan lucu sehingga pembaca merasa terhibur saat membacanya.
 Fungsi Informasi
2. Darah yang keluar dari tubuh terus-menerus akan meneyebabkan kematian
3. Pada saat meninggal roh akan keluar dari tubuh kita
4. Roh tidak bisa lagi berkomunikasi seperti biasa dengan manusia yang masih hidup
1.1.10 Pengalaman
 Pengalaman Estetis
Cerpen ini sangat memikat karena kental sekali dengan suasana mistik dan sufistik di dalamnya.
 Pengalaman Humanistik
Cerpen ini menggambarkan kondisi kemanusiaan yang mungkin masih terjadi di beberapa daerah. Kehidupan masyarkat kerajaan yang memiliki kasta-kasta di tengah kaum miskin dan gelandangan yang penuh dengan kemiskinan.
“...saya perintahkan kasta-kasta untuk dihapuskan” seru Hamlet
1.1.11 Kesimpulan Akhir
Setelah membaca cerpen karya Danarto ini kami merasa terhibur dengan gaya penceritaanya walaupun ceritanya bersifat absurb sulit dimengerti. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti, selain itu novel ini memiliki fungsi penyadaran, fungsi informasi, dan fungsi rekreatif .
Cerpen Danarto ini kental sekali dengan suasana mistik dan sufistik. Dan itulah memang yang menjadi ciri khas dari Danarto. Ceritanya bebas namun tetap mempunyai amanat atau maksud yang hendak disampaikannya.
Danarto mencoba memakai tokoh yang berasal dari peradaban barat tapi menggunakan adat dan latar belakang jawa. Cerpen ini memiliki ciri unik dalam penyampaiannya, dimana si pengarang bagaikan seorang tokoh dan hidup dalam karangan itu. Si pengarang terlibat langsung dan berdialog dengan para tokoh lainnya.

2.1 Simpulan
Ziarah, merupakan sebuah novel yang isi ceritanya sangat menarik, sentuhan filsafat pengarang benar-benar tersaji dalam novel ini.Tak kurang dalam setiap bagian novel terdapat kalimat-kalimat yang merupakan ilmu filsafat. Gaya humor pengarang juga samar-samar, pembaca harus benar-benar mengerti maksud pengarang dulu sebelum dibuat tertawa membayangkan bahwa itu sangat lucu. Dalam menghadirkan sebuah masalah, pengarang tidak sungkan untuk mendramatisir, selain itu endingnya juga sangat mengagumkan.
Abracadabra, cerpen karya Danarto yang membuat pembaca merasa terhibur dengan gaya penceritaanya, walaupun bahasa yang digunakan mudah dimengerti namun ceritanya bersifat absurb sehingga menjadi sulit dimengerti. Ceritanya bebas namun tetap mempunyai amanat atau maksud yang hendak disampaikan. Cerpen ini memiliki ciri unik dalam penyampaiannya, dimana si pengarang bagaikan seorang tokoh dan hidup dalam karangan itu. Si pengarang terlibat langsung dan berdialog dengan para tokoh lainnya.
Kedua karya prosa fiksi tersebut merupakan contoh keragaman dan keunikan yang terdapat dalam karya sastra. Pengarang membuat cerita dengan kemampuan menulisnya yang sangat baik, dengan gaya penulisannya masing-masing, menghasilkan karya-karya yang mengagumkan yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar