STUDI
KASUS PEMEROLEHAN BAHASA
PADA ANAK
USIA 3 TAHUN
Arni
Yanti (0908790)
Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak: Pemerolehan bahasa anak
usia 3 tahun akan diteliti pada seorang anak perempuan bernama Nadya pada setting
di rumah. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode simak dan cakap.
Data yang dihimpun berupa tuturan lisan objek penelitian dengan lawan tuturnya
dalam suatu percakapan di telepon. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam mencermati pemerolehan bahasa anak usia 3
tahun. Pemerolehan bahasa yang dimaksud mencakup tataran sintaksis, tataran
semantik, dan tataran fonologi.
Kata kunci: bahasa, pemerolehan, sintaksis,
semantik, fonologi
A.
Pendahuluan
Bahasa memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan wujud dari kehidupan manusia
tersebut. Bahasa diperoleh seorang manusia mulai sejak lahir, ketika dia
pertama kali menangis. Pada saat manusia berumur 3 hingga 4 bulan, ia mulai
memproduksi bunyi-bunyi. Mulai mengoceh saat umur 5 dan 6 bulan, kemudian
ocehan ini pun lama-kelamaan semakin bertambah sampai sang anak mampu
memproduksi perkataan yang pertama.
Pemerolehan bahasa
merupakan suatu proses perkembangan bahasa manusia. Kanak-kanak sejak lahir
telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasanya. Pemerolehan bahasa ini
dipengaruhi pula oleh interaksi sosial dan perkembangan kognitif anak.
Kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses sehingga perlu
ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini pun diarahkan
berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemampuan sintaksis, semantik,
dan fonologis yang dalam proses pemerolehannya, dilakukan secara bertahap.
Atas dasar uraian diatas
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun
pada tataran sintaksis, semantik, dan fonologi. Objek dalam penelitian ini
yaitu seorang anak perempuan berusia 3,1 tahun bernama Nadya Fitri Aulia
(Nadya).
B.
Metode Penelitian
Objek
Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian
ini adalah seorang anak perempuan berusia 3,1 tahun bernama Nadya Fitri Aulia.
Nadya dilahirkan di keluarga yang
dwibahasawan yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Ayah dan ibu Nadya
menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Dapat
dikatakan Nadya seorang dwibahasawan alamiah, karena pemerolehan bahasa Nadya
berupa bahasa Sunda dan bahasa Indonesia sekaligus. Apabila lawan bicara Nadya
menggunakan bahasa Indonesia, Nadya akan merespon lawan bicaranya tersebut menggunakan
bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya. Hal itu mengakibatkan dalam tuturan
Nadya seringkali terdapat campur kode dan alih kode. Namun, agar penelitian ini
tidak terlalu melebar, dalam penelitian ini hanya akan diteliti pemerolehan
bahasa Indonesianya saja.
Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kamar pribadi
kakak dari objek penelitian berukuran 4 x 3 meter di salah satu rumah di Jalan Mochamad Toha, Kota Bandung. Peneliti
merekam situasi objek ketika sedang bertelepon dengan lawan tuturnya
menggunakan video kamera. Penelitian ini menggunakan metode observasi (metode
simak) dan metode cakap. Metode simak yang dilakukan dengan cara merekam
kemudian mentranskripsikan hasil simakan yang diperoleh. Sedangkan metode cakap
dilakukan dengan peneliti terlibat percakapan dengan Nadya selaku objek
penelitian secara langsung.
C.
Landasan Teori
Chaer (2009: 167)
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang
berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan
proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk
terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses
pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Kedua
jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi
kemampuan linguistik kanak-kanak itu.
Beberapa linguis
generatif (Tarigan, 2009: 38) yakin bahwa suatu tata bahasa terdiri atas tiga
komponen utama yang masing-masing komponen melukiskan seperangkat kaidah
linguistik tertentu, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen
fonologi. Komponen sintaksis menjumlahkan suatu perangkat tali simbol tata
bahasa yang tidak terbatas banyaknya, masing-masing dengan pemerian struktural
yang tepat. Komponen semantik beroperasi pada rangkaian formatif bersama-sama
dengan pemerian strukturalnya yang menghasilkan suatu interpretasi semantik
bagi setiap tali atau untaian. Komponen fonologi memetakan setiap tali
sintaksis menjadi gambaran ciri-ciri fonetik yang paling terperinci, yaitu
menyajikan setiap kalimat dengan ucapannya.
Dari deskripsi di atas
dapat dinyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak merupakan suatu proses yang
berlangsung terus-menerus secara bertahap. Pemerolehan bahasa seseorang dapat
dinilai atau dilihat dari sistem komunikasi linguistiknya yang berada pada
tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran fonologi. Oleh karena itu,
penelitian tentang pemerolehan bahasa anak secara mendalam dengan memerhatikan
ketiga tataran tersebut terasa sangat penting dilakukan.
D.
Temuan Penelitian dan Pembahasan
Pemerolehan Sintaksis
Pemerolehan bahasa Nadya pada tataran sintaksis sudah cukup baik. Hal ini
terlihat dari data yang didapatkan. Nadya sudah bisa membuat kalimat yang
bersifat deklaratif, interogatif, imperatif. Kemudian menempatkannya pada
situasi yang tepat. Contoh kalimat bersifat deklaratif yang
dibuat Nadya tampak pada kutipan peristiwa tutur berikut.
P1: Dede, tetehnya ada ga?
P2: Ada, lagi, lagi bobo.
Kalimat tutur diatas
menggambarkan Nadya (P2) sudah dapat memberitakan sesuatu kepada orang lain.
Dalam kalimat tutur di atas Nadya memberitakan kepada P1 bahwa kakaknya sedang
ada bersamanya dan kakaknya tersebut sedang tidur.
P2: Teteh, punya poto ga?
P3: Punya.
Kalimat tutur di atas
menggambarkan Nadya (P2) membuat kalimat yang bersifat interogatif. Nadya sudah
bisa menanyakan sesuatu pada kakaknya (P3). Dalam kalimat tersebut, nadya
menggunakan kata ga untuk menanyakan
apakah kakaknya punya foto atau tidak.
P2: Nih teh! (Nadya memberikan telepon genggam kepada kakaknya)
Kalimat imperatif
memiliki makna memberikan perintah untuk melakukan sesuatu sehingga tanggapan
yang diharapkan berupa tindakan dari orang yang diperintahnya. Dalam kalimat di
atas, Nadya (P2) ingin kakaknya memberikan tanggapan berupa tindakan yaitu
mengambil telepon genggam dari tangan Nadya.
Kalimat yang dibuat
Nadya sudah cukup baik, namun dalam proses menghasilkan ujaran, Nadya mengalami
sedikit kesulitan dalam tahap pengolahan sintaksis yang akan diujarkannya.
Contohnya dalam kutipan peristiwa tutur berikut.
P2: Punya, tuh punya.
P1: Oh, punya. Kalo dede punya ga?
P2: Dede? Punya juga, punya dede mah, punya
juga.
Dalam kalimat tutur di
atas, Nadya (P2) membuat kalimat tak berklausa punya, tuh punya untuk menyatakan bahwa kakaknya punya poto.
Kemudian ketika ditanyakan apakah Nadya juga punya poto seperti kakaknya, Nadya
menjawab punya juga, punya dede mah,
punya juga. Terjadi pengulangan pada kalimat tutur yang dibuat Nadya yaitu
pengulangan kata punya bahwa Nadya juga memiliki apa yang ditanyakan oleh lawan
bicaranya (P1).
Pemerolehan Semantik
Pemerolehan bahasa Nadya pada tataran semantik berjalan dengan baik, sama
halnya dengan kanak-kanak lainnya yang berusia di atas 2 tahun yang telah mulai
menguasai kamus makna. Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan
kosakata kanak-kanak yang dilakukan baik secara horizontal maupun secara
vertikal. Pemerolehan semantik Nadya dapat dilihat pada kutipan peristiwa tutur
berikut.
P1: Di mana?
P2: Di sini? Nadya, pas malem, Nadya, udah itu,
udah jalan-jalannya, beli baju
yang banyak. Ini bajunya yang
banyak, ini bajunya banyak.
P1: Mana baju banyak teh?
P2: Pororo ini mah bajunya teh, Pororo.
Dalam kutipan peristiwa
tutur di atas, Nadya (P2) menyatakan bahwa pada suatu malam dia berjalan-jalan
kemudian membeli baju yang banyak. Kemudian ketika dalam percakapan di atas,
Nadya sedang menggunakan baju yang
banyak. Dalam kalimat ini bajunya
yang banyak, ini bajunya banyak, yang dimaksud Nadya bukanlah Nadya sedang
menggunakan banyak baju atau menggunakan baju yang banyak, yang berarti lebih
dari satu baju. Tetapi maksud Nadya adalah baju yang sedang dipakai Nadya
tersebut adalah salah satu dari beberapa baju yang dibelinya itu.
Penyebutan baju yang banyak yang dimaksud Nadya
terhadap satu baju yang dipakainya, yang merupakan satu dari sekian baju yang
dibelinya itu, didasarkan pada ciri yang
khas dari baju itu yaitu baju yang dibeli pada malam saat sedang berjalan-jalan
dengan keluarganya. Hal ini memperlihatkan penguasaan Nadya terhadap medan
semantik.
Kemudian saat Nadya
ditanya Mana baju banyak teh? yang
menanyakan baju yang banyak yang dimaksud Nadya, Nadya menjawab Pororo ini mah bajunya teh, pororo
sebagai rujukan terhadap baju yang dikenakannya. Pororo merupakan tokoh kartun yang berbentuk penguin. Baju yang
dikenakan Nadya bergambar tokoh Pororo.
Pemerolehan Fonologi
Data fonologis yang berhasil dihimpun pada penelitian ini dapat dilihat
pada tabel berikut:
Kata
|
Pengucapan (seharusnya)
|
Pengucapan (fakta)
|
situ
|
/situ/
|
/situh/
|
foto
|
/foto/
|
/poto/
|
iya
|
/iya/
|
/iyah/
|
temennya
|
/temennya/
|
/temennyah/
|
terus
|
/terus/
|
/telus/
|
rumah
|
/rumah/
|
/lumah/
|
itu
|
/itu/
|
/ituh/
|
pororo
|
/pororo/
|
/porolo/
|
lagi
|
/lagi/
|
/lagih/
|
yuni
|
/yuni/
|
/uni/
|
arni
|
/arni/
|
/ani/
|
duduknya
|
/duduknya/
|
/duduknyah/
|
Berdasarkan data di atas, terdapat beberapa bunyi laringal [h] yaitu
penambahan fonem /h/ pada kata yang berakhiran vokal /u/, /i/, dan /a/, yaitu
dari pengucapan yang seharusnya /situ/ menjadi /situh/, /itu/ menjadi /ituh/,
/lagi/ menjadi /lagih/, /iya/ menjadi /iyah/, /temennya/ menjadi /temennyah/,
dan pengucapan yang seharusnya /duduknya/ menjadi /duduknyah/.
Terjadi pula perubahan fonem /f/ menjadi /p/ yaitu dari /foto/ menjadi
/poto/. Kemudian perubahan fonem /r/ menjadi /l/ yaitu dari pengucapan yang
seharusnya /terus/ menjadi /telus/ dan dari /rumah/ menjadi /lumah/. Pengucapan
kata yang seharusnya /pororo/ cukup unik karena Nadya bisa mengucapkan fonem
/r/ pada silaba kedua hanya saja pengucapan fonem /r/ pada silaba ketiga
menjadi /l/ kembali, yaitu pengucapan yang seharusnya /pororo/ menjadi
/porolo/.
Terjadi pula penghilangan fonem yang tidak diberi tekanan yaitu fonem /y/
dari pengucapan yang seharusnya /yuni/ menjadi /uni/ dan fonem /r/ dari
pengucapan yang seharusnya /arni/ menjadi /ani/. Kata /yuni/ dan /arni/ yang
merupakan sebuah nama, pengucapannya berubah menjadi /uni/ dan /ani/ mungkin
karena sudah menjadi kebiasaan pada Nadya sejak kecil, karena saat usia Nadya
lebih kecil dari sekarang sering mengucapkan /yuni/ dengan /uni/ dan /arni/
dengan /ani/. Hal tersebut belum berubah sampai saat ini, meskipun Nadya
sekarang sudah bisa mengucapkan /y/ atau bisa mengubah pengucapan fonem /r/
menjadi /l/. Nadya bisa saja mengucapkan /yuni/ ataupun yang seharusnya /arni/
menjadi /alni/.
Proses fonologis yang dialami oleh Nadya
menunjukan adanya kesesuaian dengan pemerolehan bahasa tipikal yang dialami
oleh kanak-kanak lain seusianya pada umumnya. Dari hasil analisis Nadya banyak
mengeluarkan bunyi laringal [h] pada kalimat yang berakhiran vokal /u/, /i/,
dan /a/. Nadya juga mengalami proses fonologis yang mengakibatkan perubahan
bunyi /r/ menjadi /l/. Bunyi /r/ dan /l/ sama-sama berada pada titik artikulasi
alveolum, dengan demikian perubahan ini wajar bagi anak seusia Nadya.
E. Simpulan dan Saran
Simpulan
Pemerolehan bahasa pada
tataran sintaksis, semantik, dan fonologi Nadya selaku objek penelitian sudah
cukup baik. Tidak terdapat penyimpangan yang berarti dalam tuturan yang
dihasilkan. Pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun berada pada tahap perkembangan
kalimat. Anak sudah mengenal pola dialog, sudah mengerti kapan gilirannya
berbicara dan kapan giliran lawan tuturnya berbicara. Anak telah menguasai
hukum-hukum tata bahasa yang pokok dari orang dewasa, perbendaharaan kata
berkembang, dan perkembangan fonologi dapat dikatakan telah berakhir. Mungkin
masih ada kesukaran pengucapan beberapa konsonan namun segera akan berhasil
dilalui anak.
Saran
Peneliti menyadari
penelitian ini sangat terbatas, selain data yang sedikit penelitian ini pun
belum didukung oleh teori–teori yang lebih komprehensif dan analisis yang lebih
mendalam. Penelitian lanjutan perlu dilakukan guna mengetahui lebih dalam
mengenai pemerolehan bahasa yang dialami oleh anak usia 3 tahun.
F. Referensi
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik:
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Damaianti, Vismaia S. dan Nunung Sitaresmi. 2006. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung:
Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Sitaresmi, Nunung dan Mahmud Fasya. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Bandung: UPI Press.
Sunanto, Juang dan Koji Takeuchi, Hideo Nakata. 2006. Penelitian dengan Subyek Tunggal.
Bandung: UPI Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2009a. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: Angkasa.
------- 2009b. Psikolinguistik.
Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar